Koperasi Merah Putih di Kelurahan Tanpa Dana Desa: Siapa yang Menjamin Kredit Mereka

1 month ago 15

OPINI -   Di banyak kelurahan, 'Koperasi Merah Putih tumbuh dari ruang-ruang kecil yang sederhana'. Bukan dari modal besar, melainkan dari kepercayaan antarwarga, dari iuran wajib bulanan, dari semangat saling menopang. Koperasi ini hadir bukan semata sebagai lembaga ekonomi, tetapi sebagai ruang harapan: bahwa warga kelurahan pun layak bermimpi tentang kemandirian finansial tanpa harus bergantung pada rentenir atau skema kredit berbunga tinggi.

Namun, di balik geliat itu, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang muncul dalam forum kebijakan:

"Siapa yang menjamin mereka ketika kredit macet datang?"

Berbeda dengan desa yang memiliki Dana Desa dan keleluasaan fiskal melalui BUMDes, kelurahan tidak memiliki rumah perlindungan fiskal. Ketika salah satu anggota mengalami gagal bayar, beban itu tidak jatuh pada institusi pemerintah, tetapi langsung pada sesama anggota koperasi. Kekuatan solidaritas memang menjadi modal sosial, tetapi tanpa payung kelembagaan, solidaritas bisa perlahan berubah menjadi beban.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam pernyataannya pada Forum Transformasi Pembiayaan Koperasi di Jakarta, awal September 2025, menyebut, “Koperasi tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri menghadapi risiko pembiayaan. Negara harus memberi kepastian perlindungan.”

Ungkapan itu terdengar sebagai semangat besar, namun di tingkat kelurahan, perlindungan itu belum menemukan bentuknya.

Masalah lain muncul dalam hubungan koperasi dengan perbankan nasional. Bank-bank Himbara seperti BRI, Mandiri, BNI, dan BTN memang membuka akses pembiayaan mikro, bahkan khusus bagi koperasi Merah Putih. Namun logika yang berlaku tetap sama: setiap pinjaman harus memiliki jaminan ketika terjadi kredit macet. Di desa, posisi Dana Desa atau BUMDes kadang dapat menjadi rujukan politik fiskal untuk meyakinkan bank. Di kelurahan, pertanyaan itu belum terjawab: jika Koperasi Merah Putih ingin bermitra dengan Bank Himbara, siapa yang berdiri sebagai penjamin saat cicilan macet?

Hingga hari ini, tidak ada mekanisme khusus dari Bank Himbara yang secara eksplisit didesain untuk mendukung KMP di kelurahan tanpa perlindungan fiskal. Padahal, dalam banyak kesempatan, negara mendorong koperasi untuk mengakses pembiayaan formal. Dorongan itu terdengar ideal, namun tanpa jaring penjaminan, akses kredit justru bisa menjadi ruang kegamangan baru bagi koperasi—terutama yang berbasis komunitas warga kelurahan.

Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri pada Rakor APBD Oktober 2025 menjelaskan, “Kelurahan bisa masuk dalam skema penjaminan Jamkrida atau BPR daerah, tetapi harus ada keputusan politik dari kepala daerah untuk memasukkannya dalam struktur APBD.” Artinya, solusi itu bukan tidak ada—tetapi menunggu keberanian kebijakan.

Sementara itu, data evaluasi Jamkrindo per Agustus 2025 mencatat penyaluran penjaminan koperasi di wilayah kelurahan menjadi yang paling rendah secara nasional. Sebabnya sederhana: 'tidak ada entitas fiskal yang bisa menjadi mitra penjamin'. Jamkrida dan BPR milik daerah hanya bisa bergerak jika ada payung APBD yang mengakui keberadaan koperasi kelurahan sebagai bagian dari ekosistem ekonomi rakyat yang harus dijaga.

Memang, beberapa daerah sudah mulai bergerak. Nusa Tenggara Barat melalui BPR NTB dan Jamkrida daerah, serta Jawa Tengah lewat Bank Jateng, baru saja membuka ruang penjaminan koperasi kelurahan melalui skema kolaborasi APBD 2025. Sebagai sebuah 'kearifan lokal' tentu patut diberikan apresiasi. Namun, tentang harus ada regulasi yang jelas dari Kementerian terkait untuk mendukung penjaminan kredit di KMP di kelurahan ini.

Kini, Koperasi Merah Putih di kelurahan berdiri di persimpangan. Mereka sudah melangkah dengan keyakinan bahwa gotong royong masih mungkin dijalankan di tengah kota. Namun tanpa perlindungan penjaminan kredit (karena modal tersedia masih kecil), terutama saat mulai memasuki kerja sama dengan perbankan nasional, langkah itu selalu mengandung risiko. Di sinilah kehadiran kebijakan diuji—bukan sekadar melalui ajakan kemandirian, tetapi melalui keberanian membangun sistem perlindungan yang memberi rasa aman.

Karena pada akhirnya, kemandirian ekonomi rakyat tidak hanya diukur dari kemampuan membayar cicilan, tetapi dari kepastian bahwa ketika risiko datang, mereka tidak dibiarkan berjalan sendirian, ada solusi yang konstruktif.

Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |