JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membongkar praktik korupsi yang merugikan keuangan negara. Kali ini, lembaga antirasuah itu telah menahan lima dari total 21 tersangka dalam kasus dugaan pengurusan dana hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022. Kelima individu ini berperan krusial sebagai koordinator lapangan (korlap) yang menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mempermulus pencairan dana hibah.
Modus operandi yang terungkap cukup mengkhawatirkan. Kelima tersangka korlap tersebut terlebih dahulu menyusun proposal fiktif yang berisi Rencana Anggaran Biaya (RAB) hingga Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang ternyata jauh dari kebutuhan riil masyarakat. Proposal ini kemudian diajukan ke DPRD.
"Nah di sini kesalahannya. Seharusnya tadi, seperti saya jelaskan diawal, bahwa dana pokir (pokok pikiran) ini untuk pekerjaannya atau kegiatannya itu harusnya berdasarkan informasi dari lapangan atau bersifat bottom-up, " ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
Asep Guntur menjelaskan lebih lanjut, seharusnya pencairan dana hibah untuk suatu wilayah masyarakat didasarkan pada pengecekan langsung oleh anggota dewan saat masa reses. Interaksi langsung dan dialog dengan masyarakat saat reses akan memberikan gambaran yang lebih efektif dan nyata mengenai penyaluran dana hibah.
"Misalkan jalan, kemudian juga irigasi, bangunan sekolah atau bangunan yang lainnya. Tetapi pada kenyataannya karena memang dana pokir atau dana hibah pokir ada setiap tahun dan sudah berjalan di beberapa tahun, nah yang terjadi adalah ketua-ketua koordinator ini, korlap ini, kemudian dia menyusun sendiri, " jelas Asep.
Lebih miris lagi, proposal yang disusun oleh para korlap ini diserahkan kepada anggota DPRD bersamaan dengan 'komitmen fee' atau yang dikenal sebagai 'ijon'—uang suap yang diberikan sebelum keuntungan diterima. Dari praktik 'ijon' inilah, KPK mengungkap bahwa Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, diduga turut menerima uang senilai Rp 79, 74 miliar.
Uang haram tersebut diduga diterima Kusnadi selama empat tahun menjabat sebagai Ketua DPRD Jatim, dari periode 2019 hingga 2022. Perolehan fantastis ini berasal dari komitmen Kusnadi untuk mencairkan dana hibah yang kemudian dialirkan kepada para korlap.
"Untuk mendapatkan proyek tersebut mendapatkan ya atau proposalnya tersebut disetujui, nah para korlap ini pada akhirnya memberikan sejumlah uang. Jadi istilahnya di 'ijon' dulu nih, " terang Asep.
Asep Guntur merinci, uang yang diterima Kusnadi merupakan komitmen fee sebesar 20 persen. Angka tersebut diberikan sebagai imbalan atas kemudahan yang diberikan Kusnadi dalam memproses pencairan dana hibah pokir untuk masing-masing wilayah yang diwakili oleh para korlap.
Kasus ini menyoroti betapa rentannya sistem pengadaan dana hibah jika tidak diawasi dengan ketat. Harapan masyarakat akan bantuan yang tepat sasaran kini tercoreng oleh praktik korupsi yang sistematis. (PERS)











































