JAKARTA - Kabar gembira bagi masyarakat adat yang telah puluhan tahun hidup berdampingan dengan hutan. Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan penting yang membebaskan mereka dari keharusan mengantongi izin usaha dari pemerintah pusat jika ingin berkebun di kawasan hutan. Keputusan ini berlaku selama kegiatan perkebunan tersebut tidak berorientasi pada keuntungan komersial.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa larangan bagi setiap orang untuk melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin usaha, kini memiliki pengecualian penting. Pengecualian ini secara spesifik diberikan kepada masyarakat yang telah hidup turun-temurun di dalam hutan dan kegiatan mereka murni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan untuk diperdagangkan.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, ” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Kamis (13/6/2024).
Dalam putusan bersejarah ini, MK memberikan tafsir baru terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5, serta Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20, Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kedua pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai bahwa ada pengecualian bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Sebelumnya, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Lampiran UU Cipta Kerja secara tegas menyatakan, “setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat.”
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b memiliki kaitan erat dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014. Dalam putusan sebelumnya, Mahkamah telah memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan kegiatan mereka tidak untuk kepentingan komersial.
“Melalui putusan a quo (ini) Mahkamah perlu untuk menyesuaikan semangat yang terkandung dalam norma Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6/2023 dengan Putusan Mahkamah tersebut, ” papar Enny.
Dengan demikian, larangan berkebun di kawasan hutan tanpa izin usaha yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b tidak lagi dapat diberlakukan bagi masyarakat adat yang hidup turun-temurun di dalam kawasan hutan, selama kegiatan mereka bukan untuk kepentingan komersial.
Implikasinya, sanksi administrasi yang sebelumnya bisa dikenakan berdasarkan Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6/2023, kini juga dikecualikan untuk masyarakat adat dalam konteks ini.
Enny Nurbaningsih lebih lanjut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan komersial adalah kegiatan perkebunan yang hasilnya diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, jika perkebunan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan sehari-hari demi kelangsungan hidup, maka masyarakat adat tidak dapat dikenakan sanksi.
“Dengan kata lain, masyarakat yang hidup turun-temurun dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan dan papan untuk kebutuhan sehari-hari tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan dalam norma Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6/2023, ” pungkasnya. (PERS)