PAPUA - Harapan masyarakat Papua untuk hidup damai dan maju terus digerogoti oleh bayang-bayang kekerasan. Keberadaan kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kian menambah luka di tanah yang kaya akan potensi, namun miskin akan ketenangan.
Aksi-aksi kekerasan, teror, dan intimidasi yang dilakukan OPM tidak hanya menyerang aparat keamanan, tetapi juga merampas hak-hak dasar masyarakat sipil: pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Kampung-kampung di wilayah pedalaman dan pegunungan menjadi saksi bisu pengungsian massal, sekolah kosong, puskesmas ditinggalkan, dan harapan yang perlahan memudar.
“Anak-anak kehilangan sekolah, ibu-ibu takut melahirkan tanpa bantuan medis, dan para lansia tidak tahu lagi harus lari ke mana. Ini bukan perjuangan, ini penderitaan, ” ujar Kepala Dinas Sosial Papua, Selasa (15/4/2025).
Dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran OPM telah melumpuhkan pembangunan di daerah tertinggal. Proyek-proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi urat nadi kemajuan jalan, jembatan, fasilitas pendidikan dan kesehatan seringkali menjadi sasaran perusakan. Akibatnya, para pekerja meninggalkan lokasi proyek, dan kontraktor menarik diri demi keselamatan.
Ironisnya, aksi sabotase tersebut dilakukan atas nama perjuangan rakyat Papua. Padahal, yang paling menderita justru rakyat itu sendiri.
“Kalau ini yang disebut perjuangan, maka itu adalah perjuangan yang membuat rakyat mundur puluhan tahun ke belakang, ” kata seorang tokoh masyarakat dari Papua Pegunungan yang meminta namanya dirahasiakan.
Masyarakat Papua kini dihadapkan pada kenyataan pahit: di satu sisi, negara berupaya menghadirkan kemajuan lewat pembangunan, namun di sisi lain, kelompok bersenjata justru memadamkan cahaya harapan tersebut.
Ketika senjata lebih nyaring dari suara anak-anak yang belajar, dan ketakutan lebih luas dari jalan yang belum sempat dibangun, saat itulah sebuah perjuangan layak dipertanyakan: masihkah untuk rakyat, atau hanya demi ambisi kelompok semata? (APK/Red1922)