Mohammad Natsir: Sang Negarawan Sederhana, Pahlawan Sepanjang Masa

2 hours ago 1

PROFIL - Di tengah hingar bingar politik dan perebutan kekuasaan, ada sosok yang bersinar dengan kesederhanaan dan integritasnya. Beliau adalah Mohammad Natsir, seorang negarawan ulung dan tokoh pergerakan Islam yang jejaknya terukir dalam lintasan sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Kesederhanaan yang membalut pribadi beliau menjadikannya teladan yang tak lekang oleh waktu, sebuah mercusuar moral di tengah badai zaman.

Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai biografi Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional yang kiprahnya tak hanya penting bagi Indonesia, namun juga diakui oleh dunia. Lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908, Natsir adalah buah cinta dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Ia tumbuh bersama tiga saudaranya: Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, sementara kakeknya adalah seorang ulama terkemuka. Tak heran, kelak Natsir mengemban amanah sebagai pemangku adat bagi kaumnya yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam, dengan gelar kehormatan Datuk Sinaro nan Panjang.

Perjalanan intelektual Natsir tak terlepas dari pergaulannya dengan para pemikir Islam terkemuka. Sejak pertengahan tahun 1930-an, ia kerap bertukar pikiran dengan Agus Salim. Keduanya tak henti-hentinya merajut gagasan tentang bagaimana Islam dapat beriringan dengan negara, demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Bung Karno.

Kehidupan pribadi Natsir pun diwarnai kisah yang harmonis. Pada 20 Oktober 1934, di Bandung, beliau mempersunting Nurnahar. Pernikahan mereka dikaruniai enam orang anak. Kecemerlangan intelektual Natsir juga terpancar dari penguasaannya terhadap berbagai bahasa asing, termasuk Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Arab, dan Spanyol. Bakat seni pun turut menghiasi dirinya, sejalan dengan kedekatannya dengan Douwes Dekker. Keduanya memiliki hobi yang sama, bermain musik. Natsir mahir memainkan biola, sementara Dekker piawai dengan gitar. Dalam percakapan sehari-hari dengan Dekker, Natsir tak jarang beralih ke bahasa Belanda, mendiskusikan karya musik sekelas Beethoven atau novel karya Boris Pasternak, novelis ternama Rusia kala itu. Kedekatan intelektual ini bahkan menginspirasi Dekker untuk bergabung dengan Masyumi, lantaran ide-ide perjuangan, demokrasi, dan keadilan mereka sejalan.

Dunia politik praktis mulai digeluti Natsir pada tahun 1938, saat ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia. Di cabang Bandung, beliau didapuk sebagai pimpinan dari tahun 1940 hingga 1942. Ia pun sempat mengabdikan diri sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung hingga 1945. Selama masa pendudukan Jepang, Natsir memilih jalur perjuangan bersama Majelis Islam A’la Indonesia, yang kemudian bertransformasi menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Beliau dipercaya memimpin Masyumi dari tahun 1945 hingga organisasi tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960, bersamaan dengan Partai Sosialis Indonesia.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Natsir menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menduduki kursi Perdana Menteri, ia terlebih dahulu mengemban amanah sebagai Menteri Penerangan. Puncak kontribusinya bagi persatuan bangsa terjadi pada 3 April 1950, ketika beliau mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mosi ini, yang mendapat dukungan penuh dari Wakil Presiden Mohammad Hatta, berhasil memulihkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkat jasanya ini, pada 17 Agustus 1950, Mohammad Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno.

Namun, Natsir tak pernah gentar menyuarakan kebenaran. Beliau berani mengkritik Presiden Soekarno terkait kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Kritikan inilah yang akhirnya mendorong beliau untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Perjalanan hidup Natsir penuh liku. Baik pemerintah Soekarno maupun Soeharto pernah menudingnya sebagai pemberontak dan pembangkang, yang berujung pada penahanan. Namun, di mata dunia internasional, Natsir justru dihormati dan dihargai setinggi-tingginya. Beliau diakui oleh Dunia Islam sebagai pahlawan lintas bangsa dan negara. Bruce Lawrence, seorang akademisi, menyebut Natsir sebagai politisi paling menonjol yang berkontribusi pada pembaruan Islam. Bukti nyata penghargaan internasional datang dari Raja Tunisia, Lamine Bey, yang menganugerahkan bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) pada tahun 1957 atas jasanya dalam perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Penghargaan bergengsi lainnya adalah Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada tahun 1980, serta pengakuan dari ulama dan pemikir terkemuka seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A’la Maududi.

Pada tahun 1980, Mohammad Natsir kembali mendapatkan apresiasi luar biasa melalui Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi. Kecemerlangan intelektualnya turut diakui dengan gelar doktor kehormatan dalam bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967. Kemudian, pada tahun 1991, ia dianugerahi dua gelar kehormatan sekaligus: dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia.

Mohammad Natsir mengembuskan napas terakhirnya pada 6 Februari 1993 di Jakarta, dan dikebumikan sehari kemudian. Ironisnya, di masa pemerintahan Soeharto, beliau tidak mendapatkan gelar pahlawan. Namun, warisan intelektual dan kontribusinya diakui oleh Presiden B. J. Habibie yang menganugerahkan Bintang Republik Indonesia Adipradana.

Sepanjang hidupnya, Mohammad Natsir dikenal sebagai sosok yang sangat bersahaja. Pakaiannya seringkali ditambal, jasnya pun tak pernah terlihat mewah. Beliau dikenang sebagai menteri yang tidak memiliki rumah pribadi dan menolak pemberian mobil mewah, bahkan mobil Chevrolet Impala sekalipun. Di rumahnya, ia hanya menggunakan mobil tua bermerek De Soto. Kisah hidup Mohammad Natsir menjadi pengingat abadi tentang bagaimana integritas, kesederhanaan, dan pengabdian bisa membentuk seorang negarawan sejati, seorang pahlawan bangsa yang tak lekang oleh waktu. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |