MAKASSAR — Alumni lintas generasi Universitas Hasanuddin (Unhas) sepakat bahwa kampus merah kini tengah menghadapi krisis kepemimpinan akademik dan kehilangan ruh intelektualnya.
Pandangan paling tajam datang dari Ni’matullah, alumnus Fakultas Ekonomi yang juga Ketua Senat Mahasiswa pada masanya.
Ulla, sapaan karib Ketua Partai Demokrat Sulsel itu menegaskan, Unhas memikul tanggung jawab besar terhadap kemajuan maupun kemunduran Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
“Menurut saya, Unhas-lah yang paling bertanggung jawab untuk Sulsel, " tegas Ulla dalam forum Dialog Alumni Lintas Generasi: Unhas Kita – Dulu, Kini, dan Akan Datang, Sabtu malam (25/10/2025) di Kopi Aspirasi, Jalan AP Pettarani, Makassar.
"Gubernur kita alumni, Ketua DPRD Sulsel juga alumni. Bupati dan Wali Kota, anggota DPRD, banyak alumni Unhas. Tapi mengapa kita tidak bisa memberi dampak yang lebih bagus?” tambahnya.
Forum reflektif yang diinisiasi Lobelobe Forum (LOF) dan Solidaritas Alumni Peduli Unhas (SAPU) serta didukung oleh IKA Unhas Kota Makassar ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas generasi, antara lain Abdul Madjid Sallatu, Dr. Hasrullah, M.Si, dan Dr. Rahmat Muhammad, M.Si. Diskusi dipandu oleh Andi Sri Wulandani Thamrin, S.IP., M.Hum.

Kampus Seperti Tempat Kursus
Dalam pandangan Ni’matullah, atmosfer akademik Unhas kini telah berubah drastis. Ia menilai kampus kebanggaan masyarakat Sulsel itu kehilangan tradisi berpikir kritis dan bergagasan yang dulu menjadi ciri khasnya.
“Unhas hari ini sudah seperti tempat kursus saja saya lihat. Tidak kelihatan nuansa dan tradisi akademik bergagasan di dalamnya, yang ada hanya orang yang mau mengejar ijazah, ” ujarnya disambut anggukan sejumlah peserta forum.
Ia menilai dengan jumlah mahasiswa mencapai 39.000 orang, organisasi kampus menjadi terlalu besar dan kaku. Akibatnya, kata Ulla, Unhas hanya terjebak pada rutinitas administratif, bukan lagi ruang lahirnya ide besar.
“Organisasi kampus kita sudah terlalu gemuk, makanya tidak bisa berbuat banyak selain rutinitas saja. Kita sulit berharap ada gagasan besar lahir dari konteks seperti saat ini, ” tambahnya.

Krisis Kepemimpinan Akademik
Pandangan Ulla diperkuat oleh akademisi senior Abdul Madjid Sallatu, yang menyebut Unhas kehilangan academic organizational leadership.
“Yang tidak ada di Unhas saat ini adalah kepemimpinan organisasi akademik. Yang ada hanya personal leadership, sehingga tidak memberi dampak besar bagi masyarakat, ” ujarnya.
Madjid juga mengkritisi sistem perangkingan universitas dan beban administratif dosen yang justru membunuh kreativitas.
“Perangkingan universitas adalah jebakan agar kampus terjun di dunia kompetisi, padahal yang dibutuhkan sekarang adalah sinergi dan kolaborasi. Kompetisi seharusnya tidak dikenal dalam tradisi akademik, ” tegasnya.
Budaya Literasi yang Kian Pudar
Sementara Dr. Hasrullah, dosen Ilmu Komunikasi Unhas, menyoroti lemahnya budaya literasi mahasiswa dan dosen.
“Pudarnya budaya membaca dan menulis ini alarm bahaya bagi dunia akademik. Kampus seharusnya mencari jalan keluar, ” ujarnya.
Ia mengenang masa Prof. Ahmad Amiruddin, rektor ke-6 Unhas, yang rutin mengumpulkan dosen terbaik untuk berdiskusi berbagai topik kebangsaan dan kemasyarakatan.
“Dari forum-forum diskusi intens itu lahir banyak ide besar, bahkan sebagian jadi buku, ” kenang Hasrullah.

Dorongan untuk Regenerasi Kepemimpinan
Senada, Dr. Rahmat Muhammad, mantan Wakil Dekan III FISIP Unhas, menegaskan perlunya regenerasi kepemimpinan yang terencana dan terbuka.
“Jabatan seperti Ketua Departemen, Dekan, atau Rektor sebaiknya cukup satu periode saja, agar lebih banyak dosen bisa belajar memimpin, ” katanya.
Rahmat juga menilai Unhas perlu mendorong dosen-dosen potensialnya tampil di tingkat nasional.
“Kalau memang berpotensi, kita harus dorong keluar kampus, termasuk rektor. Jangan semuanya berdiam di kampus, ” ujarnya.
Mengenang Kepemimpinan Emas
Di penghujung forum yang berlangsung hingga pukul 23.00 WITA, para alumni sepakat bahwa kepemimpinan akademik terbaik dalam sejarah Unhas adalah pada masa Prof. Ahmad Amiruddin.
“Beliau bukan hanya pemimpin kampus, tapi pemimpin peradaban, ” simpul para peserta forum.
Pertemuan lintas generasi ini menjadi ajang refleksi yang sarat keprihatinan sekaligus harapan. Di tengah kritik tajam terhadap kondisi akademik saat ini, satu pesan Ni’matullah bergema paling kuat:
“Kalau Unhas tidak mampu mengubah Sulsel menjadi lebih baik, berarti kampus ini gagal menjalankan tanggung jawabnya.” (*)

















































