JAKARTA - Kasus mengejutkan pembobolan dana nasabah senilai Rp 204 miliar di salah satu bank badan usaha milik negara (BUMN) telah membuka mata kita semua terhadap potensi kerentanan dalam sistem pengawasan perbankan di Indonesia. Apa yang membuat kasus ini kian mengkhawatirkan adalah temuan bahwa dana tersebut dibobol dari rekening yang aktif, bukan rekening yang terindikasi tidak aktif atau dormant. Ini jelas menunjukkan adanya titik lemah yang perlu segera ditangani.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengonfirmasi fakta krusial ini. Beliau menjelaskan bahwa pembobolan tersebut tidak terjadi pada rekening yang pasif, melainkan pada rekening yang masih aktif digunakan oleh nasabah. Temuan ini muncul setelah bank yang bersangkutan melakukan pemeriksaan internal secara mendalam sebelum akhirnya melaporkan kejadian ini kepada aparat penegak hukum (APH).
Menanggapi situasi genting ini, OJK telah memberikan instruksi tegas kepada pihak bank untuk segera memperkuat infrastruktur yang ada, khususnya dalam mendeteksi potensi penipuan atau fraud. Tak hanya itu, OJK juga mendesak dilakukannya investigasi mendalam untuk mengungkap kemungkinan adanya keterlibatan pihak internal maupun eksternal lainnya. Hal ini sangat penting mengingat modus operandi yang digunakan mengarah pada sebuah sindikat yang terstruktur dan berpotensi melibatkan lebih banyak pihak.
“Mengingat modus operandi fraud tersebut mengarah pada sindikat yang terstruktur dan berpotensi melibatkan lebih banyak pihak, ” ujar Dian Ediana Rae dalam jawaban tertulisnya pada Selasa, 30 September 2025.
Di sisi lain, OJK juga tengah giat menyusun Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) yang secara spesifik mengatur mengenai rekening dormant atau pasif. Tujuannya jelas, yakni untuk menciptakan kebijakan yang seragam di seluruh perbankan, memberikan perlindungan maksimal bagi nasabah, dan pada akhirnya menjamin stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Saat ini, rancangan peraturan tersebut sedang dalam tahap finalisasi.
Penting untuk dicatat, hingga berita ini diturunkan, pihak bank telah berupaya melakukan pemulihan dana nasabah yang terdampak. OJK sendiri menyatakan menghormati penuh proses hukum yang sedang berjalan. Bank juga diminta untuk menindaklanjuti setiap indikasi pelanggaran dengan berkoordinasi erat dengan APH, serta memastikan bahwa hak-hak nasabah yang terkena dampak dapat dipulihkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Dan melakukan mitigasi risiko yang memadai untuk melindungi industri jasa keuangan dari tindak kejahatan, ” sebut Dian Ediana Rae.
OJK secara berkelanjutan terus mendorong bank-bank untuk meningkatkan kontrol terhadap setiap transaksi keuangan yang mencurigakan. Upaya optimalisasi sistem deteksi fraud dan mitigasi risiko yang memadai menjadi kunci utama dalam melindungi industri jasa keuangan dari berbagai modus kejahatan finansial. Pengalaman pahit ini menjadi pengingat bahwa kewaspadaan dan inovasi teknologi harus terus ditingkatkan untuk menjaga kepercayaan publik. (PERS)