PALU, Indonesiasatu.id– Jurnalis media daring Beritamorut.id, Heandly Mangkali, SKM, melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Shane & Co, secara resmi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Palu.
Permohonan ini dilayangkan sebagai bentuk keberatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Siber Polda Sulawesi Tengah, yang dianggap tidak sah dan bertentangan dengan hukum acara pidana.
Permohonan tersebut diajukan oleh empat kuasa hukum: Dr. Mardiman Sane, SH., MH; Dr. Muslimin Budiman, SH., MH; Purnawadi Otoluwa, SH., MH; dan Abd. Aan Achbar, SH, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 Mei 2025.
Dalam permohonan yang didaftarkan pada 6 Mei 2025 itu, Heandly Mangkali memilih domisili hukum di Kantor Kuasa Hukumnya yang beralamat di Jalan Merpati IIA No. 25 Kota Palu.
Permohonan praperadilan ini ditujukan kepada Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Cq. Direktorat Reserse Siber, selaku termohon, terkait dengan tindakan penyidikan dan penetapan status tersangka terhadap Heandly yang dinilai tidak sah secara hukum.
Dasar Hukum Permohonan
Permohonan ini diajukan dengan dasar hukum:
• Ketentuan BAB X Bagian Kesatu, Pasal 77 hingga Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); dan
• Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan.
Kronologi Permasalahan
Heandly Mangkali adalah warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai jurnalis dan tinggal di Jl. Towua II No. 41 B, Kel. Tatura Selatan, Kec. Palu Selatan, Kota Palu.
Pada 16 November 2024, ia memuat sebuah berita di medianya dengan judul “Istri Bos di Morut, Main Kuda-kudaan dengan Bawahan”.
Berita tersebut kemudian dibagikan melalui akun media sosial pribadinya, “Kaka Gondrong” dan “Heandly Mangkali”.
Pemohon menjelaskan bahwa tindakan membagikan tautan berita ke media sosial adalah hal biasa yang dilakukan terhadap semua berita yang tayang di media online-nya.
Akibat dari unggahan tersebut, pada 28 Desember 2024, Heandly menerima surat undangan wawancara dari Polda Sulteng dengan nomor: B/UND/26/XII/RES.2.5/2024/Ditressiber, berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/276/XII/SPKT/POLDA SULTENG/2024 tanggal 20 Desember 2024.
Heandly dipanggil untuk menghadap AIPTU Hasanuddin Usia, S.IP pada 30 Desember 2024.
Heandly memenuhi panggilan tersebut dan menjalani pemeriksaan dari pukul 10 pagi hingga pukul 8 malam.
Setelah itu, ia tidak menerima lagi surat atau panggilan dari pihak kepolisian.
Namun, pada 17 Maret 2025, Polda Sulteng kembali mengirim surat panggilan dengan nomor: S.Pgl/S5/21/III/RES.2.5/2025/Ditressiber, meminta kehadiran Heandly sebagai saksi pada 20 Maret 2025.
Heandly menghadiri panggilan tersebut dan menjalani pemeriksaan sebagai saksi selama lima hari berturut-turut, yakni 20 hingga 24 Maret 2025.
Pada 24 Maret 2025, penyidik kemudian melakukan penyitaan terhadap sejumlah barang milik Heandly berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Nomor: STP/39/III/RES.2.5/2025/Ditressiber.
Setelah itu, Heandly tidak menerima lagi surat apapun, hingga pada 26 April 2025, ia dihubungi via telepon oleh seorang penyidik dan diajak bertemu di sebuah warung kopi.
Di sana, sekitar pukul 24.00 WITA, penyidik menyerahkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B/233/IV/RES.2.5./2025/Ditressiber tertanggal 26 April 2025 dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor: SPDP/04/II/RES.2.5/2025/Ditressiber tertanggal 18 Februari 2025.
Dalam surat tersebut, Heandly dijerat dengan pasal pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27A jo.
Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan atas UU ITE. Ancaman pidananya maksimal dua tahun penjara dan/atau denda Rp400 juta.
Alasan Permohonan Praperadilan
Menurut pemohon, pasal-pasal yang dikenakan terhadap Heandly cacat prosedur dan tidak sah karena:
• Tidak sesuai dengan KUHAP;
• Bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019;
• Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 tanggal 29 April 2025 yang menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik hanya berlaku terhadap individu (perorangan), bukan institusi, kelompok, atau profesi.
Kuasa hukum juga menegaskan bahwa tindakan penetapan tersangka terhadap Heandly merupakan bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Tuntutan dalam Permohonan
Dalam permohonannya, pihak Heandly Mangkali meminta Pengadilan Negeri Palu agar:
• Mengabulkan seluruh permohonan praperadilan;
• Menyatakan tindakan termohon tidak sah secara hukum;
• Menyatakan penetapan tersangka terhadap pemohon tidak sah;
• Menyatakan seluruh surat penyidikan yang telah dan akan diterbitkan tidak sah;
• Menghukum termohon untuk segera membebaskan pemohon dari segala tuduhan dan penahanan;
• Menghukum termohon membayar ganti rugi sebesar Rp100 juta secara tunai kepada pemohon.
Permohonan ini menjadi bentuk perlawanan hukum terhadap dugaan kriminalisasi pers serta pengujian terhadap sah atau tidaknya proses penetapan tersangka oleh aparat penegak hukum di era Undang-Undang ITE yang terus menuai kritik. ***