DONGGALA - Kasus perundungan yang menimpa seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Donggala, Sulawesi Tengah, menjadi tamparan keras bagi kita semua. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyoroti insiden ini sebagai pengingat mendesak akan bahaya pengaruh lingkungan yang rentan terhadap perilaku anak.
"Ketidakberfungsian peran keluarga untuk memberikan pengasuhan dan perlindungan yang layak kepada anak turut berpotensi melibatkan anak menjadi korban atau pelaku tindak kekerasan, " tegas Menteri Arifah Fauzi di Jakarta, Rabu.
Beliau mengungkapkan keprihatinan mendalam atas peristiwa memilukan ini, di mana seorang siswi menjadi korban perundungan oleh tujuh rekan sekolahnya.
Menindaklanjuti kejadian tersebut, pihak KemenPPPA bergerak cepat. "Kami telah berkoordinasi dengan UPTD PPA Sulawesi Tengah dan DP3A Kabupaten Donggala. Telah dilakukan penjangkauan korban untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan pemulihan. Para anak terlapor juga mendapatkan pendampingan oleh Sentra Nipotowe dan Dinas Sosial Sulawesi Tengah, " jelas Menteri Arifah.
Akar masalah kasus ini bermula pada 9 September 2025, ketika korban diduga melaporkan para terlapor yang kedapatan membolos sekolah demi menemui teman laki-laki.
Keesokan harinya, perundungan itu terjadi, bahkan didokumentasikan oleh para pelaku dan kemudian beredar luas di media sosial, menambah luka bagi korban dan publik.
Upaya penanganan segera dilakukan. Pada 13 September 2025, pembinaan dilaksanakan oleh pihak sekolah. Sehari berikutnya, 14 September 2025, mediasi digelar di Polsek Sindue, dengan korban didampingi oleh neneknya.
Untuk perbuatannya, para terduga pelaku anak dijerat dengan Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidananya bisa mencapai tiga tahun enam bulan penjara atau denda maksimal Rp72.000.000.
Tak hanya itu, mereka juga dapat dikenakan Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait penganiayaan, dengan ancaman hukuman dua tahun delapan bulan penjara atau denda Rp4.500.000.
Proses hukum terhadap para anak terlapor akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan penekanan pada pendekatan restorative justice dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015. (PERS)