Politisi Dominasi Kursi Komisaris BUMN, Skema Patronase Mengemuka

3 hours ago 1

JAKARTA – Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) mengungkap fakta mengejutkan: sebanyak 165 dari total 562 posisi komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini diduduki oleh para politisi. Temuan ini, yang dirilis berdasarkan riset pada 13 Agustus hingga 25 September 2025, mencakup 59 BUMN dan 60 sub holding-nya, menimbulkan pertanyaan serius mengenai independensi dan efektivitas tata kelola perusahaan pelat merah.

Peneliti TII, Asri Widayati, memaparkan data yang diperolehnya. Dari 562 komisaris yang diteliti, terlihat dominasi latar belakang birokrat (172 orang) dan politisi (165 orang). Posisi lainnya diisi oleh profesional (133 orang), militer (35 orang), aparat penegak hukum (APH) (29 orang), akademisi (15 orang), perwakilan Ormas (10 orang), dan mantan pejabat negara (1 orang)..

“Jadi, komisaris di holding BUMN, tata kelola BUMN dikuasai lebih banyak oleh birokrat dan politisi, ” ujar Asri, dikutip dari kanal YouTube Transparency International Indonesia, Kamis (2/10/2025).

Lebih lanjut, Asri merinci bahwa dari 165 politisi yang menduduki kursi komisaris, mayoritas adalah kader partai. Sebanyak 104 orang di antaranya merupakan kader partai politik, sementara 61 orang lainnya teridentifikasi sebagai relawan politik.

Yang menarik perhatian dalam temuan ini adalah dominasi Partai Gerindra. Dari 104 kader partai, 48, 6 persen berasal dari Gerindra. Partai politik lain menyusul dengan angka di bawah 10 persen, seperti Partai Demokrat (9, 2 persen), Golkar (8, 3 persen), serta PAN, PDI-P, dan PSI yang masing-masing memiliki 5, 5 persen.

TII menyoroti bahwa komposisi ini berpotensi mengorbankan prinsip tata kelola BUMN yang seharusnya lebih mengedepankan profesionalisme. Keberadaan birokrat, misalnya, dinilai dapat menimbulkan konflik kepentingan karena mereka berperan ganda sebagai regulator sekaligus pelaksana.

“Mungkin ini akan banyak korupsinya karena konflik kepentingan adalah jalan atau area risiko menuju tindak pidana korupsi, ” ungkap Asri, menyuarakan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang.

Kondisi ini diperparah dengan semakin menipisnya kehadiran kalangan profesional di jajaran komisaris BUMN. Asri mencatat, hanya 14, 9 persen komisaris di holding yang berlatar belakang profesional, dan angka ini sedikit membaik di sub holding menjadi 32, 1 persen.

Temuan TII mengindikasikan bahwa pembagian jabatan di BUMN masih sangat kental dengan nuansa patronase, yang diduga merupakan imbalan atas dukungan politik yang diberikan selama periode pemilihan.

Menanggapi temuan tersebut, Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat bahwa fenomena banyaknya politisi di BUMN merupakan bentuk patronase.

“Saya sepakat ini patronase untuk kemudian kurang lebih mengembalikan hutang jasa selama tahun politik, masing-masing pihak dapat keuntungan dan dapat pekerjaan, ” kata Feri dalam diskusi daring yang sama. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |