MERAUKE - Polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, kembali mencuat ke permukaan. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dalam siaran pers terbarunya meminta Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi, bahkan menghentikan proyek yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan nasional itu. Kritik yang dilontarkan menyentuh isu lingkungan, hak masyarakat adat, hingga tuduhan “serakahnomics” istilah yang mengaitkan pembangunan dengan keserakahan korporasi besar. Kamis (25/09/2025).
Sekilas, narasi ini tampak idealis dan berpihak pada masyarakat lokal. Namun, jika ditelaah lebih dalam, pandangan tersebut terkesan simplistis dan mengabaikan fakta lapangan. PSN Merauke sejatinya bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan bagian dari strategi besar bangsa dalam mewujudkan kedaulatan pangan, energi, dan air tiga sektor vital yang menentukan masa depan Indonesia.
Kedaulatan Pangan: Jawaban atas Ketergantungan Impor
Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu konsumen pangan terbesar di dunia. Namun hingga kini, ketergantungan terhadap impor beras, gandum, kedelai, bahkan daging masih tinggi. Ketergantungan ini sangat berisiko, terlebih di tengah krisis global, fluktuasi harga pangan, hingga gejolak geopolitik internasional.
Merauke memiliki potensi lahan subur yang luas dan datar—aset langka di Nusantara. Potensi inilah yang sejak lama diakui pemerintah dan kini dilanjutkan dalam skema PSN. Jika dikelola dengan tepat, Merauke bisa menjadi sentra produksi pangan nasional, bahkan berorientasi ekspor.
Menyebut PSN sebagai “serakahnomics” jelas tidak seimbang dengan realitas. Sebaliknya, langkah ini merupakan keberanian politik untuk keluar dari jebakan impor dan melaksanakan amanat UUD 1945 Pasal 33: bumi, air, dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Masyarakat Adat: Dari Objek Menjadi Subjek Pembangunan
Kritik lain yang kerap menyeruak adalah soal hak tanah adat. Narasi yang dibangun seringkali menggambarkan masyarakat lokal semata-mata sebagai korban pembangunan.
Faktanya, pemerintah telah menyiapkan skema kemitraan, pemberdayaan ekonomi, hingga kompensasi yang lebih adil. Meski masih terdapat kekurangan dalam praktik, yang diperlukan bukan penolakan, melainkan perbaikan tata kelola.
Di sejumlah desa sekitar Merauke, manfaat nyata sudah dirasakan: terbukanya lapangan kerja baru, infrastruktur jalan, listrik yang mulai menjangkau desa, hingga akses pendidikan dan kesehatan yang lebih memadai. Ironisnya, fakta-fakta positif ini jarang diangkat oleh pihak penolak, seakan-akan PSN tidak memberi kontribusi apa pun.
Lingkungan: Risiko yang Bisa Dikelola
Tidak ada pembangunan besar tanpa dampak terhadap lingkungan. Namun menyamakan PSN Merauke dengan penghancuran hutan jelas berlebihan. Pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan pelaksana memenuhi AMDAL, menerapkan teknologi ramah lingkungan, serta melaksanakan reboisasi di kawasan terdampak.
Jika ada penyimpangan, solusinya bukan menghentikan proyek, melainkan memperketat pengawasan dan penegakan hukum. Justru kehadiran negara memberi jaminan tata kelola yang lebih terkontrol, ketimbang jika wilayah dibiarkan terbengkalai dan rawan eksploitasi liar.
Pembangunan dan pelestarian alam bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Dengan pendekatan tepat, keduanya bisa berjalan berdampingan: pangan tercukupi, ekosistem tetap terjaga.
Keamanan Nasional: Negara Harus Hadir
Isu lain yang kerap diangkat adalah keberadaan aparat TNI-Polri di sekitar kawasan proyek. Sebagian pihak menudingnya sebagai “militerisasi proyek”.
Padahal, kehadiran aparat bertujuan menjaga keamanan proyek vital strategis yang berada di daerah rawan. Papua masih sering dihadapkan pada aksi kelompok bersenjata separatis. Tanpa pengamanan negara, pembangunan bisa terhenti, pekerja dan masyarakat justru rentan menjadi korban.
Menafsirkan peran aparat semata sebagai alat represi jelas keliru, bahkan dapat melemahkan posisi negara dalam menjaga kedaulatan wilayah.
Papua Tidak Boleh Tertinggal
Satu pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan: sampai kapan Papua dibiarkan tertinggal? Selama ini, tanah Papua kerap identik dengan kemiskinan, keterisolasian, dan keterbelakangan. Ironisnya, saat negara hadir membawa pembangunan berskala besar, justru muncul suara-suara yang ingin menghentikannya.
Apakah kita rela generasi muda Papua hanya menjadi penonton di tanah sendiri? PSN Merauke adalah peluang emas bagi Papua untuk bangkit. Melalui investasi infrastruktur, pelatihan keahlian, dan penyediaan lapangan kerja, masyarakat Papua memiliki kesempatan untuk sejajar dengan daerah lain di Indonesia.
Menjawab Kritik dengan Solusi, Bukan Penolakan
Kritik dari organisasi masyarakat sipil tetap penting sebagai bagian dari mekanisme check and balance. Namun kritik yang konstruktif harus disertai solusi, bukan sekadar penolakan.
Jika mekanisme partisipasi adat dirasa lemah, perbaikilah. Jika kompensasi dinilai kurang adil, tingkatkan kualitasnya. Jika ada potensi kerusakan lingkungan, perkuat pengawasan dan teknologi ramah lingkungan. Menutup proyek sepenuhnya bukan solusi, melainkan langkah mundur yang membahayakan kemandirian bangsa.
Penutup
PSN Merauke adalah proyek strategis yang menyangkut kepentingan nasional: menjamin kedaulatan pangan sekaligus membuka jalan kemajuan Papua. Menolaknya berarti menutup pintu kesempatan bagi masa depan bangsa.
Tentu pemerintah harus tetap terbuka terhadap kritik dan terus memperbaiki tata kelola. Namun arah besar pembangunan tidak boleh dibiarkan goyah oleh narasi pesimistis. Yang dibutuhkan Papua hari ini bukan sekadar wacana, melainkan tindakan nyata.
Dan PSN Merauke adalah salah satu jalannya.
(Redaksi (JIS)