PAPUA - Gelombang penolakan terhadap kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus menguat. Dari berbagai penjuru Tanah Papua, masyarakat sipil termasuk tokoh adat, tokoh agama, hingga generasi muda menyuarakan desakan tegas agar OPM angkat kaki dari wilayah permukiman rakyat. Sabtu 19 Juli 2025.
Aksi-aksi brutal kelompok separatis ini dinilai tak hanya mencederai rasa kemanusiaan, tetapi juga menghancurkan citra Papua sebagai tanah damai yang sedang berjuang membangun masa depan yang lebih baik.
“Papua butuh kedamaian, bukan konflik. Kekerasan bukan perjuangan itu kejahatan terhadap sesama, ” tegas Pendeta Yance Mirin dari Jayawijaya, Sabtu (19/7/2025). Ia menyerukan agar masyarakat tidak tinggal diam dan menolak segala bentuk kekerasan yang menargetkan warga sipil tak bersalah.
Generasi Muda Menolak Hidup dalam Ketakutan
Desakan serupa datang dari pemuda Nabire, Melkias Magai, yang menekankan bahwa generasi muda Papua ingin tumbuh dalam damai, menimba ilmu, dan membangun masa depan tanpa harus dihantui teror kelompok bersenjata.
“Kami ingin sekolah dan bekerja, bukan hidup di bawah ancaman senjata. Rakyat Papua tidak mendukung kekerasan, apalagi yang mengorbankan orang tak berdosa, ” ujarnya lantang.
Tokoh Adat: “Jangan Menumpang Hidup di Atas Penderitaan Rakyat”
Suara keras juga datang dari tokoh adat Meepago, Titus Pigai, yang menganggap kehadiran OPM di kampung-kampung sebagai beban penderitaan bagi masyarakat lokal.
“OPM harus pergi. Kami ingin Papua yang aman, damai, dan bermartabat. Bukan tanah penuh ketakutan, ” katanya dengan nada geram.
Warga Papua Bersatu Menolak Teror
Kini, suara rakyat Papua semakin bulat: hentikan kekerasan, kembalikan kedamaian. Seruan agar aparat keamanan bertindak tegas namun terukur juga menggema, demi melindungi warga sipil dari intimidasi dan teror bersenjata.
Kekerasan yang terus berlangsung tidak hanya menyakiti fisik masyarakat, tapi juga melukai harapan generasi penerus Papua. “Papua bukan tempat untuk senjata, tapi tempat untuk harapan, pendidikan, dan perdamaian, ” tutup Melkias Magai. (Apk/Red1922)