Oleh: Asri Tadda (Direktur The Sawerigading Institute)
Di banyak daerah, proyek hilirisasi nikel kini menjadi magnet baru investasi. Pemerintah daerah berlomba-lomba menawarkan lahan, izin, dan fasilitas untuk membangun kawasan industri yang di dalamnya berdiri smelter atau pabrik pengolahan nikel. Luwu Timur termasuk di antaranya — wilayah yang kaya sumber daya dan strategis secara geografis.
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan, kawasan industri yang dibangun karena mengejar target pemasukan daerah tanpa perencanaan matang, terutama Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tata kelola regulatif yang kuat, sering kali berujung pada masalah serius di kemudian hari yang sulit diperbaiki lagi.
Karena itu, di balik optimisme yang besar terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kabupaten Luwu Timur belakangan ini, terbersitlah sebuah pertanyaan reflektif, yaitu apakah kita sedang memulai semuanya dengan cara yang benar?
Hilirisasi dan Tata Kelola
Tak ada yang salah dengan hilirisasi. Justru, gagasan mengolah hasil tambang di dalam negeri adalah langkah penting untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional. Tetapi, hilirisasi yang dilakukan secara terburu-buru tanpa kesiapan tata ruang, infrastruktur, dan perlindungan lingkungan hanya akan menciptakan ilusi kemajuan.
Di beberapa daerah, kawasan industri nikel dibangun di wilayah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bahkan sebagian berdiri di atas lahan produktif dan daerah resapan air. Padahal, PP No. 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri secara tegas mewajibkan kesesuaian lokasi, ketersediaan infrastruktur dasar, dan izin lingkungan lengkap sebelum dimulainya pembangunan.
Ketika proses itu diabaikan, maka kawasan industri menjadi legal secara politik, tetapi ilegal secara administratif dan ekologis.
AMDAL Bukan Formalitas
Sering kali AMDAL dianggap hanya sekadar berkas pelengkap untuk mendapatkan izin. Padahal, AMDAL adalah instrumen sains kebijakan lingkungan yang memastikan agar pembangunan tidak merusak daya dukung alam dan sosial di sekitarnya.
Kawasan industri smelter nikel memiliki karakter khusus, diantaranya intensitas energi tinggi, kebutuhan air besar, serta risiko tinggi terhadap polusi udara dan pencemaran logam berat.
Tanpa AMDAL yang sah dan komprehensif, kita sebenarnya sedang membuka jalan bagi bencana ekologis seperti misalnya pencemaran air tanah, degradasi hutan, serta gangguan kesehatan masyarakat sekitar.
Dalam konteks Luwu Timur khususnya wilayah Lampia yang menjadi fokus pengembangan Kawasan Peruntukan Industri (KPI), yang sebagian wilayahnya berada di sekitar Teluk Bone dan aliran Sungai Malili, kegagalan mengelola dampak lingkungan bisa berakibat sistemik. Air yang tercemar dari aktivitas smelter akan berdampak langsung pada ekosistem dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber air tersebut.
Selain itu, pembangunan kawasan industri tanpa keterlibatan masyarakat sekitar kerap menimbulkan penolakan dan konflik sosial yang tak kunjung usai. Protes warga, sengketa lahan, hingga aksi blokade sering kali terjadi karena masyarakat tidak diberi ruang untuk berpartisipasi sejak awal.
Padahal, dalam prosedur AMDAL, konsultasi publik merupakan kewajiban hukum. Ia bukan basa-basi administratif, tetapi wujud dari prinsip keadilan lingkungan (environmental justice).
Kawasan industri yang tidak mendapat legitimasi sosial pada akhirnya akan sulit bertahan, seberapa besar pun nilai investasinya.
Ironisnya, ketika kawasan industri dimulai dengan cara yang salah, manfaat ekonomi jangka panjang justru sulit terwujud. Infrastruktur bisa terlanjur salah lokasi, investasi kehilangan kepercayaan, dan reputasi daerah sebagai destinasi industri menjadi buruk. Lebih parah lagi, biaya pemulihan lingkungan yang rusak bisa jauh melampaui nilai investasi yang masuk.
Daerah yang berharap menjadi pusat hilirisasi akhirnya justru menjadi pusat kerusakan lingkungan. Dan masyarakat lokal, yang mestinya diuntungkan oleh kehadiran industri, malah menanggung beban sosial dan kesehatan.
Luwu Timur di Persimpangan
Luwu Timur memiliki semua modal dasar untuk tumbuh menjadi kawasan industri strategis di Indonesia Timur, mulai dari sumber daya mineral yang melimpah, pelabuhan laut dalam, dan tenaga kerja potensial.
Tetapi justru karena itu, prosesnya harus dimulai dengan benar. Tidak boleh ada satu pun tahapan yang dilewati. Kajian AMDAL harus terbuka, izin lokasi harus sesuai RTRW, dan pengawasan publik harus ketat.
Jika semua proses dijalankan secara transparan dan akuntabel, kawasan industri nikel di Luwu Timur bisa menjadi model hilirisasi yang benar — bukan sekadar cepat membangun, tapi juga tepat arah dan akan berkelanjutan.
Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa pembangunan kawasan industri smelter nikel bukan semata urusan ekonomi, tapi soal masa depan lingkungan dan sosial masyarakat. Karena yang kita butuhkan bukan sekadar kawasan industri yang berdiri megah, melainkan kawasan industri yang hidup berdampingan dengan manusia dan alamnya, dan memberikan kontribusi ekonomi secara positif dalam waktu yang panjang. (*)

















































