JAKARTA - Posisi utang pemerintah pusat Indonesia hingga pertengahan tahun 2025 tercatat sebesar Rp9.138, 05 triliun. Angka ini merepresentasikan 39, 86 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sebuah rasio yang menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih berada dalam koridor yang aman dan terkendali.
“Debt to GDP ratio kita pada akhir Juni 2025 adalah 39, 86 persen. Satu level yang cukup rendah, cukup moderate dibandingkan dengan banyak negara baik peer group, negara tetangga maupun G20, ” ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, dalam sebuah temu media yang berlangsung di Bogor pada hari Jumat.
Perbandingan dengan akhir tahun 2024 menunjukkan sedikit peningkatan. Pada Desember 2024, total utang pemerintah tercatat Rp8.813, 16 triliun, terdiri dari pinjaman senilai Rp1.087, 17 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.725, 99 triliun, atau setara 39, 81 persen terhadap PDB. Memasuki Juni 2025, rasio ini naik tipis menjadi 39, 86 persen.
Komposisi utang pada Juni 2025 mencakup pinjaman sebesar Rp1.157, 18 triliun dan SBN Rp7.980, 87 triliun. Pinjaman luar negeri mengalami kenaikan menjadi Rp1.108, 17 triliun dari Rp1.099, 25 triliun pada Mei 2025, sementara pinjaman dalam negeri sedikit terangkat dari Rp48, 7 triliun menjadi Rp49 triliun. Di sisi lain, porsi utang dari SBN mengalami sedikit penurunan dari Rp8.029, 53 triliun di bulan Mei menjadi Rp7.980, 87 triliun pada Juni 2025.
Dominasi penerbitan SBN berdenominasi rupiah masih terlihat jelas, meskipun ada sedikit penurunan dari Rp6.524, 44 triliun menjadi Rp6.484, 12 triliun. SBN dalam valuta asing (valas) juga mencatat penurunan, dari Rp1.505, 09 triliun menjadi Rp1.496, 75 triliun.
“Jadi Juni total outstanding utangnya Rp9.138 triliun, pinjamannya Rp1.157 triliun dan SBN Rp7.980, 87 triliun, ” pungkas Suminto, merangkum data total utang pada periode tersebut.
Menyikapi kebutuhan akan transparansi dan kredibilitas data, Kemenkeu mengumumkan perubahan dalam pelaporan data utang. Mulai tahun 2025, pemerintah akan merilis data utang secara triwulanan, beralih dari format bulanan yang digunakan sebelumnya. Langkah ini diambil untuk menyelaraskan statistik utang dengan rilis PDB nasional yang juga bersifat triwulanan dari Badan Pusat Statistik (BPS).
“Supaya statistiknya lebih kredibel. Agar rasio itu tidak berdasarkan asumsi, tapi berdasarkan realisasi. Nanti debt to GDP ratio (dirilis) setiap tiga bulan, ” jelas Suminto, menekankan pentingnya data yang akurat dan relevan dalam pengambilan kebijakan. (PERS)








































