JAYAPURA - Di balik rindangnya hutan Papua dan keindahan alamnya yang memukau, luka dan air mata terus mengalir. Bukan karena bencana alam, melainkan karena kekejaman manusia yang datang dari kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang semakin brutal dan kehilangan arah perjuangan. Kamis 8 Mei 2025.
Dalam beberapa bulan terakhir, gelombang kekerasan yang dilakukan OPM tidak hanya menargetkan aparat keamanan, tetapi juga warga sipil tak berdosa, guru, tenaga medis, dan bahkan anak-anak sekolah. Bukannya memperjuangkan aspirasi damai, mereka justru menebar teror dan penderitaan yang mendalam di tanah kelahirannya sendiri.
Salah satu contohnya adalah pembunuhan keji terhadap Hari Karuanto di Yahukimo dan Josep Agus Lepo di Dogiyai oleh kelompok OPM Kodap XI. Kedua korban merupakan warga sipil yang tak memiliki keterkaitan dengan konflik bersenjata. Tindakan biadab ini memupus harapan banyak warga akan perdamaian.
“Ini bukan perjuangan, ini penjajahan atas hak hidup rakyat Papua sendiri, ” tegas Pendeta Daniel Wakur dari Kabupaten Puncak, Kamis (8/5/2025), mengecam keras aksi-aksi tidak manusiawi yang terus berulang.
Tak hanya nyawa, **fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, dan jaringan komunikasi juga menjadi sasaran penghancuran. Ironis, karena fasilitas tersebut justru dibutuhkan oleh masyarakat Papua sendiri untuk hidup layak, sehat, dan berpendidikan. Dengan kata lain, OPM bukan lagi memperjuangkan masa depan Papua mereka sedang menghancurkannya.
OPM bahkan kerap menyandera guru, membakar bangunan sekolah, dan menutup akses kesehatan bagi masyarakat. Yang lebih menyedihkan, kelompok ini kemudian menyangkal tanggung jawab atas aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan, seolah nyawa manusia tidak lagi berarti.
Masyarakat Papua kini berada dalam posisi terjepit terombang-ambing antara keinginan untuk damai dan ketakutan akan kekerasan.
Sudah saatnya semua pihak baik pemerintah, masyarakat lokal, maupun komunitas internasional melihat realitas ini tanpa ilusi. OPM bukan representasi rakyat Papua. Mereka hanyalah kelompok kecil yang menggunakan senjata untuk menebar ketakutan dan memanipulasi penderitaan demi agenda pribadi.
Papua adalah tanah damai. Tanah di mana anak-anak seharusnya bisa belajar tanpa takut ditembak, dan orang tua bisa bekerja tanpa dihantui bayangan penyanderaan. Tanah yang seharusnya dibangun bersama, bukan dibakar dalam kebencian.
Kini saatnya rakyat Papua bersuara lebih lantang: Kami ingin hidup dalam damai, bukan dalam teror.