Pegunungan Bintang - Kecaman keras datang dari berbagai tokoh masyarakat Papua terhadap kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap XV Ngalum Kupel. Kelompok separatis itu diduga melibatkan anak-anak di bawah umur dalam kegiatan bersenjata, termasuk sebagai kurir, pengintai, dan penjaga pos kelompok. Tindakan ini dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap nilai kemanusiaan serta ancaman serius bagi masa depan generasi muda Papua. Selasa (14/10/2025).
Informasi mengenai praktik tidak manusiawi tersebut terungkap setelah sejumlah warga di wilayah Pegunungan Bintang melaporkan aktivitas mencurigakan di beberapa kampung terpencil. Menurut kesaksian warga, anak-anak dipaksa ikut dalam pelatihan lapangan dan diperintahkan menjalankan tugas-tugas berisiko tinggi, seperti memantau pergerakan aparat keamanan dan mengirimkan logistik ke markas kelompok bersenjata.
Tokoh masyarakat setempat, Yohanes Mabel, menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan OPM yang dinilainya sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak-anak. Ia menegaskan, anak-anak seharusnya berada di sekolah dan mendapatkan pendidikan, bukan dijadikan alat kepentingan kelompok bersenjata.
“Anak-anak Papua seharusnya berada di sekolah, belajar untuk masa depan mereka bukan memegang senjata atau disuruh mengawasi tentara. Ini sudah sangat memalukan dan berbahaya, ” ujar Yohanes di Wamena, Selasa (14/10/2025).
Yohanes menilai, langkah OPM merekrut anak-anak menunjukkan semakin lemahnya struktur internal dan hilangnya dukungan masyarakat terhadap perjuangan mereka.
“Kalau sampai menggunakan anak-anak, itu tandanya mereka sudah kehabisan tenaga dan kepercayaan rakyat. Tidak ada lagi semangat perjuangan yang tersisa hanya paksaan dan kebohongan, ” tambahnya.
Nada serupa disampaikan oleh Elias Yagibalom, tokoh adat Distrik Oksibil. Ia menegaskan bahwa tindakan OPM Kodap XV Ngalum Kupel telah melukai nurani dan mencoreng martabat masyarakat Papua sendiri.
“Anak-anak harus kita jaga. Mereka masa depan kita, bukan alat perang. Kalau OPM masih gunakan anak-anak, itu artinya mereka bukan pejuang Papua, tapi perusak Papua, ” tegas Elias.
Praktik perekrutan anak di bawah umur oleh kelompok bersenjata tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional dan internasional, tetapi juga menyalahi nilai adat dan budaya Papua yang menjunjung tinggi perlindungan terhadap generasi muda.
Masyarakat kini berharap aparat keamanan dan pemerintah segera mengambil langkah tegas baik melalui penegakan hukum maupun pendekatan kemanusiaan agar praktik biadab seperti ini tidak kembali terjadi.
Papua membutuhkan kedamaian, pendidikan, dan masa depan yang cerah bukan senjata di tangan anak-anak. Karena di pundak merekalah masa depan Tanah Papua bertumpu.
(APK/ Redaksi (JIS)


















































