OPINI - APBN 2026 kembali membawa kabar kurang menyenangkan bagi daerah. Dana transfer pusat ke daerah (TKD) yang menjadi urat nadi belanja publik di tingkat lokal terpangkas cukup dalam. Di Sumatera Barat, misalnya, total TKD tahun depan hanya mencapai Rp17, 56 triliun, turun drastis dari Rp20, 19 triliun pada 2025 (setelah efisiensi/KMK 29 thn 2025). Pemangkasan sebesar Rp2, 62 triliun ini berarti daerah harus rela kehilangan sekitar 13 persen ruang fiskalnya.
Pemangkasan ini terasa lebih berat di level kota dibandingkan kabupaten. Kota Solok menjadi yang paling terpukul dengan penurunan mencapai 21, 8 persen. Begitu pula Kota Padang dan Kota Payakumbuh yang sama-sama kehilangan lebih dari 20 persen alokasinya. Bukittinggi, Sawahlunto, dan Padang Panjang juga bernasib serupa, masing-masing terpangkas 18 persen. Jika ditotal, wajah perkotaan di Sumatera Barat akan menghadapi tekanan fiskal yang cukup serius, padahal kota adalah pusat layanan publik yang paling padat kebutuhan.
Kondisi sedikit berbeda terlihat di sejumlah kabupaten. Pesisir Selatan, Dharmasraya, dan Padang Pariaman hanya mengalami pengurangan tipis, antara 3 hingga 5 persen. Pasaman pun relatif lebih aman dengan penurunan 6, 1 persen. Pola ini memberi sinyal bahwa ada semacam upaya mempertahankan alokasi bagi kabupaten tertentu, mungkin karena menyangkut program prioritas pembangunan atau agenda pemerataan.
Namun, beberapa kabupaten seperti: Kabupaten Solok dan Kabupaten Agam sama-sama mengalami pengurangan berkisar 13%. Sedangkan Kabupaten Mentawai menjadi Kabupaten yang mengalami pengurangan terbesar yaitu 15, 6%
Di tingkat provinsi, Sumatera Barat kehilangan lebih dari Rp533 miliar atau setara 16, 3 persen dari alokasi Tahun 2025 (setelah efisiensi). Angka ini jelas bukan kecil, dan akan langsung berdampak pada terbatasnya kapasitas pemerintah provinsi menggerakkan program lintas kabupaten/kota.
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑢𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑖𝑘𝑎𝑝𝑖 𝑘𝑒𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑖?
Pemangkasan TKD hampir pasti memaksa pemerintah daerah untuk lebih kreatif menggali pendapatan asli daerah. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan, PAD di banyak daerah masih sangat terbatas, bahkan sebagian besar hanya mampu menopang belanja rutin. Situasi ini bisa berujung pada terhambatnya layanan publik, melambatnya pembangunan infrastruktur, hingga merosotnya kualitas pelayanan dasar.
Dalam konteks Sumatera Barat, penurunan TKD ini akan terasa di berbagai sektor. Kota Padang, misalnya, yang kehilangan Rp371 miliar, mungkin harus menunda proyek infrastruktur atau memangkas belanja sosial. Kota Solok dengan kontraksi lebih dari 21 persen juga akan berjibaku menyesuaikan diri.
Sementara di tingkat provinsi, keterbatasan dana bisa berdampak pada berkurangnya dukungan program strategis seperti pengembangan kawasan wisata, perbaikan jalan antarwilayah, atau program pendidikan berskala besar.
Kondisi ini semakin menegaskan satu hal: kemandirian fiskal daerah-daerah di Sumatera Barat masih rapuh. Ketergantungan pada transfer pusat begitu besar sehingga setiap kali ada kebijakan efisiensi, daerah langsung limbung. Padahal, cita-cita desentralisasi fiskal sejak awal adalah memperkuat kemandirian dan otonomi daerah. Ironisnya, setelah lebih dari dua dekade berjalan, realitasnya masih jauh dari ideal.
Memang, pemerintah pusat menyampaikan efisiensi anggaran dilakukan demi menjaga keseimbangan fiskal nasional dan tetap memberikan manfaat bagi daerah dakam bentuk Program/Kegiatan Kementerian. Tetapi efisiensi yang terlalu menekan ruang gerak daerah juga berisiko menjadi bumerang. Apalagi ketika tuntutan layanan publik terus meningkat, sementara sumber daya fiskal daerah menyusut. Daerah akhirnya dipaksa mencari cara sendiri, meskipun sering kali tanpa bekal instrumen fiskal yang memadai.
Dari sinilah urgensi membangun strategi baru bagi daerah ;
Pertama, memperkuat sektor-sektor penghasil PAD seperti pajak daerah, retribusi, serta pengembangan aset produktif.
Kedua, mendorong kolaborasi investasi yang memberi nilai tambah, terutama di sektor unggulan daerah.
Ketiga, membangun transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran agar setiap rupiah benar-benar memberi dampak nyata.
Pemangkasan TKD 2026 seyogyanya dibaca sebagai alarm. Ketergantungan berlebih pada pusat tidak bisa lagi menjadi pola utama. Daerah harus berani menggali potensi yang ada, memacu kreativitas, dan menata ulang Prioritas Pembangunan Daerah
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si, (Assisten 2 Pemko Padang Panjang)