PAPUA - Aksi provokatif yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali memicu ketegangan sosial di berbagai wilayah Papua. Kelompok separatis bersenjata ini diketahui telah merusak keharmonisan antarwarga yang sebelumnya hidup rukun dan damai, dengan penyebaran propaganda, ancaman, dan kekerasan bersenjata yang semakin meluas. Sabtu 5 Juli 2025.
Menurut Dominikus Wenda, tokoh adat asal Kabupaten Puncak, tindakan OPM hanya memperburuk situasi dan tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat Papua. “Kami dulu hidup tenang, semua suku saling bantu. Tapi sejak OPM masuk dan menyebarkan kebencian, warga jadi curiga satu sama lain. Ini bukan jalan perjuangan, ini merusak, ” ujarnya dengan tegas.
OPM kerap mempropagandakan narasi yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia dan pendatang merupakan ancaman bagi orang asli Papua. Narasi ini dijadikan alasan untuk menghasut masyarakat agar memusuhi warga yang dianggap tidak sejalan. Bahkan, dalam beberapa kasus, warga dipaksa untuk mendukung aksi OPM atau dicap sebagai “pengkhianat” jika tidak mengikuti kehendak kelompok tersebut.
Pendeta Markus Murib, tokoh gereja dari wilayah Lanny Jaya, menyampaikan keprihatinannya terhadap semakin terpecahnya masyarakat akibat hasutan OPM. “Tugas kami sebagai pemimpin rohani adalah menjaga perdamaian. Tapi bagaimana kami bisa lakukan itu kalau rakyat terus ditakut-takuti dan diadu domba?” tegasnya dengan penuh keprihatinan.
Pihak kepolisian juga melaporkan adanya peningkatan gesekan antarwarga di beberapa distrik. Kapolres Jayawijaya, AKBP Ruben Kayame, mengungkapkan bahwa ketegangan sosial tersebut berasal dari provokasi yang dilakukan oleh simpatisan OPM. “Kami sedang memperkuat pendekatan persuasif dan dialog antarwarga. Ini bukan hanya masalah keamanan, tapi masalah sosial yang harus segera ditangani, ” jelasnya.
Masyarakat sipil di beberapa kampung di wilayah Dogiyai dan Paniai mulai mengambil sikap tegas. Warga secara terbuka menolak keberadaan OPM dan meminta agar mereka tidak mencampuri urusan masyarakat. Penolakan ini disampaikan dalam forum-forum adat yang melibatkan tokoh suku, tokoh agama, dan aparat keamanan, yang menunjukkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kedamaian dan persatuan.
Tegasnya penolakan ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat Papua menuntut kehidupan yang damai tanpa kekerasan dan provokasi yang mengancam kestabilan sosial. Kesadaran kolektif semakin tumbuh, dan kini masyarakat Papua, yang dulunya hidup rukun dan berdampingan, semakin sadar bahwa hanya dengan bersatu mereka bisa menciptakan kedamaian dan kesejahteraan yang berkelanjutan. (Red1922)