Trump vs Ekonomi Global: Ketika Teori Ekonomi Internasional Tak Lagi Jadi Panduan

5 hours ago 2

OPINI - Kebijakan luar negeri Presiden Donald Trump selama masa jabatannya kerap memicu kontroversi baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun di panggung global. Ketika Donald Trump resmi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017 lalu, dunia ini memasuki era baru yakni kebijakan luar negeri dan ekonomi yang berani, agresif, dan sangat berbeda dari pendahulunya. Dengan slogan “America First” yang terus diulang, Trump memposisikan Amerika bukan lagi sebagai pemimpin konsensus global, tetapi sebagai aktor unilateral yang lebih mementingkan kepentingan domestik ketimbang tatanan ekonomi internasional yang telah dibangun selama puluhan tahun. Namun di balik upaya tersebut, banyak kebijakan ekonomi yang justru bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar dalam teori ekonomi internasional.

Salah satu langkah paling kontroversial Trump adalah dimulainya perang dagang besar-besaran dengan China. Ia mengenakan tarif impor tinggi terhadap produk-produk strategis seperti baja dan aluminium, dengan alasan melindungi industri dalam negeri dan memperbaiki defisit perdagangan. Namun secara teori, langkah ini menyalahi prinsip keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo dalam bukunya yang berjudul “On the Principles of Politic Economy and Taxation”, yakni sebuah dasar dari teori perdagangan internasional yang menyatakan bahwa sebuah negara seharusnya hanya fokus memproduksi komoditas yang dapat dihasilkan dengan cara yang paling efisien lalu memperdagangkannya kepada negara lain. Bahkan jika ada sebuah negara yang lebih unggul dalam memproduksi semua komoditas, maka perdagangan akan tetap menguntungkan karena perbedaan dalam keunggulan relative (komparatif) dan bukan keunggulan absolut. Ketika tarif diberlakukan secara sepihak, maka mekanisme efisiensi global terganggu. Akibatnya, harga barang-barang konsumsi di Amerika akan naik, beban produksi meningkat karena bahan baku lebih mahal, dan daya saing industri domestik pun malah melemah.

Salah satu aspek paling mencolok dari pendekatan luar negeri Trump adalah kebijakan untuk menarik AS dari berbagai perjanjian dan lembaga internasional yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung tatanan dunia pasca-Perang Dunia II. Penarikan diri dari Perjanjian Iklim Paris, kesepakatan nuklir Iran (JCPOA), dan keanggotaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merupakan simbol dari semangat isolasionisme yang diusung Trump. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan alasan bahwa perjanjian-perjanjian itu merugikan Amerika dan tidak memberikan imbal balik yang adil. Namun, di balik retorika tersebut, langkah ini menciptakan ruang kosong kepemimpinan global yang kemudian diisi oleh kekuatan-kekuatan baru seperti Tiongkok dan Rusia.

Tidak berhenti di situ, Trump juga menarik Amerika Serikat keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP), sebuah rangkaian kerja sama perdagangan multilateral yang sebenarnya dirancang untuk menghadapi dominasi ekonomi China di kawasan Asia-Pasifik. Langkah ini bukan hanya mengejutkan sekutu-sekutu utama AS, tetapi juga bertolak belakang dengan teori bahwa keterlibatan dalam perjanjian perdagangan multilateral akan memberikan kepastian, mengurangi hambatan, dan meningkatkan efisiensi perdagangan antarnegara. Tindakan Trump justru melemahkan posisi strategis AS dalam negosiasi dagang global dan membuka jalan bagi kekuatan ekonomi lain untuk mengisi kekosongan kepemimpinan tersebut.

Dalam beberapa kesempatan, Trump juga menuduh China melakukan manipulasi mata uang untuk memperbesar ekspor mereka. Tuduhan ini menjadi isu yang sensitif, sebab dalam sistem ekonomi pasar bebas, nilai tukar seharusnya berfluktuasi berdasarkan interaksi permintaan dan penawaran mata uang di pasar. Ketika pemimpin negara adidaya menuduh negara lain tanpa bukti kuat, hal ini mengganggu kestabilan pasar valuta asing dan menurunkan kepercayaan global terhadap posisi netral Amerika dalam sistem moneter internasional. Bahkan lembaga seperti IMF tidak mendukung tuduhan tersebut, memperjelas bahwa retorika Trump lebih banyak bermuatan politis dibanding berbasis analisis ekonomi objektif.

Yang paling mengkhawatirkan dari era Trump adalah kecenderungannya untuk melemahkan peran institusi internasional. WTO, IMF, bahkan Bank Dunia tidak luput dari kritik keras dan upaya delegitimasi oleh pemerintahan Trump. Dalam teori ekonomi internasional, lembaga-lembaga ini justru berfungsi sebagai penyeimbang, pelindung dari krisis, dan penyelesai sengketa antarnegara. Mereka membantu untuk menciptakan transparansi, menyediakan forum netral untuk negosiasi, serta mengurangi ketimpangan informasi yang sering menjadi sumber konflik dalam perdagangan global. Ketika pemimpin utama dunia justru menjauhkan diri dari mekanisme kelembagaan ini, maka yang terjadi bukanlah kemandirian, melainkan disintegrasi.

Alih-alih menjadikan Amerika lebih kuat, berbagai kebijakan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian yang luas di tingkat global. Negara-negara mitra dagang mulai menjalin kesepakatan baru di luar Amerika. Rantai pasok global terganggu. Dan yang paling parah adalah citra Amerika sebagai pemimpin dunia yang stabil dan dapat dipercaya pun ikut terkikis. Bahkan, warisan ekonominya pun masih meninggalkan jejak yang dalam. Dunia masih merapikan ulang struktur perdagangan internasional yang sempat terguncang. Para ekonom, diplomat, dan pemimpin dunia belajar satu hal penting dari era Trump bahwa ketika teori ekonomi internasional dikesampingkan demi populisme jangka pendek, bukan hanya ekonomi yang menderita, tetapi juga stabilitas dan kepercayaan global yang selama ini menjadi fondasi kemakmuran bersama. Kebijakan luar negeri Donald Trump bukan sekadar pergeseran strategi, melainkan perubahan paradigma yang drastis. Meski sebagian pihak melihatnya sebagai upaya untuk mengembalikan kedaulatan Amerika dari sistem global yang dianggap timpang, banyak analis berpendapat bahwa strategi ini memperlemah peran AS sebagai aktor utama dalam menciptakan tatanan dunia yang stabil dan adil. Dengan kata lain, “America First” bisa jadi berarti “World in Chaos.”

Penulis: Fitria Nur Masithoh, S.E., M.Pd.
(Dosen Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |