Di Balik Langit Bukittinggi

1 week ago 13

Bukittinggi-Hujan turun seperti air mata langit yang memahami luka-luka di dadaku. Di kota perantauan ini—Bukittinggi yang ramai namun terasa seperti lorong sepi—aku masih menari dengan pena dan kertas.

Aku adalah burung patah sayap yang tak pernah berhenti terbang, meski angin hidup terus-menerus menggoyang.

"Bahkan jika dunia hanya memberi bayangan,
Aku akan tetap menjadi cahaya kecil dari sumbu lilin harapan."

Tiap bulan, angka-angka datang tak berbelas kasih. Sewa rumah, token listrik, harga beras, bensin, jajan anak.
Aku hitung semua dengan jantungku yang kadang ingin menyerah, tapi tak bisa. Karena tanggung jawab itu bukan beban—ia adalah janji pada arwah yang pernah bersanding dalam suka dan duka.
Suamiku sudah pergi empat tahun lalu, menyisakan ruang kosong yang tak bisa diisi siapa-siapa.

"Dan kini aku perempuan yang menyulam siang dengan doa,
Menjahit malam dengan air mata yang diam-diam jatuh di sajadah kesabaran."

Aku ingin pulang ke Jakarta, ke rumah kecil yang penuh kenangan. Tapi langkahku terhenti bukan oleh rantai, melainkan oleh kasih—aku tak ingin jadi beban bagi anakku yang juga sedang mengejar hidupnya sendiri.
Aku bukan peminta-minta. Aku hanya petarung sunyi di tengah badai, menunggu matahari yang dijanjikan oleh harapan.

"Bukittinggi, kau saksi bisu dari perjuangan jurnalis tua
Yang masih mencintai kata,
Meski usia menggugurkan daun-daun waktu satu per satu."

Aku menunggu.
Bukan pasrah, tapi sabar.
Menunggu kerjasama yang semoga bisa menjadi jembatan, bukan tambatan.
Agar dapurku bisa tetap berasap, dan tabunganku, walau secuil, bisa menjadi perahu kecil menuju senja yang damai.

Dan jika dunia tak menyapa, aku masih akan menulis.
Karena menulis adalah nyawa kedua,
yang takkan mati walau ragaku kelak kembali pada tanah.


Lindafang, 9 April 2025

Read Entire Article
Karya | Politics | | |