OPINI - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menghadapi masa yang teramat sulit dalam sejarahnya. Partai ini gagal membawa kadernya untuk menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repulik Indonesia pada pemilu 2024 lalu.
Masa kejayaan PPP hanya dirasakan pada tahun 1977. Saat itu, PPP memperoleh lebih dari 95 kursi. Selanjutnya, perolehan suara partai berlambang Ka’bah ini terus menurun. Hingga akhirnya tumbang oleh parliamentary threshold (PT) di pemilu 2024. PPP hanya mampu memperoleh 3, 87%. Dibawah PT 4%. PPP pun harus rela kehilangan kadernya di parlemen.
Apa penyebabnya? Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi. Tapi, faktor yang paling disorot publik adalah *sosok ketua yang menahkodai PPP.* Pemimpin menjadi faktor penentu bagi nasib dan hidup-matinya partai.
Kegagalan elektoral pada pemilu 2024 merupakan pukulan telak bagi PPP. PPP tumbang! Setelah sempat bertahan pada pemilu tahun 2004 dan naik di pemilu 2014. Sepuluh tahun kemudian, partai Ka'bah ini tumbang. Krisis kepimimpinan di PPP dianggap menjadi penyebab yang paling bertanggung jawab dan disorot oleh publik.
Muhammad Mardiono yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP sejak tahun 2022 dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Kegagalannya membawa PPP lolos ambang batas parlemen menjadi isu terbesar jelang muktamar tanggal 27 September 2025 nanti. Kegagalan ini menyebabkan hilangnya dukungan para kiai sepuh dan kader PPP kepada Mardiono. Mereka menganggap Mardiono sudah tamat dan waktunya untuk digantikan.
Acara silaturahmi nasional (Silatnas) yang beberapa waktu lalu diadakan, terdapat kesan yang sangat kuat atas menolakan pencalonan Mardiono. Bahkan isu ABM, singkatan dari "Asal Bukan Mardiono" semakin menggema di kalangan kader PPP. Lantas, siapa yang tepat untuk menahkodai PPP?
Sosok pemimpin yang transformasional adalah yang dibutuhkan oleh PPP saat ini. Bass & Avolio menyebut mereka sebagai sosok yang mampu memberikan pengaruh (role model), memiliki integritas moral yang tinggi, berkemampuan mewujudkan visi masa depan, menginspirasi serta memberikan motivasi terhadap kader, berinovasi atas strategi politik yang akan dijalankan, hingga bisa memahami dan mengembangkan potensi kader. Inilah syarat utama yang perlu dimiliki sosok calon pemimpin PPP ke depan.
PPP butuh kepempimpinan yang peka terhadap situasi. Menurut Hersey-Blanchard, kepekaan atas kondisi organisasi partai juga diperlukan. Bagi Hersey, seorang pemimpin harus mampu memberikan arah yang jelas, bisa meyakinkan dan mampu memotivasi kader untuk mendukung dan menjalankan perubahan.
Untuk keluar dari kegagalan, bagi Max Weber, PPP butuh kepemimpinan yang kharismatik agar situasi krisis ini bisa teratasi. Seirang pemimpin harus mampu mengembalikan basis dukungan partai, juga menginspirasi perubahan yang mendasar dalam organisasi. Lalu, figur seperti apa yang tepat untuk memimpin PPP?
PPP butuh sosok yang memiliki daya tarik elektoral. Ini yang paling utama. Selain berlatar belakang keislaman yang baik, punya pengalaman politik, sosok itu harus juga memiliki kapasitas transformasional, Kriteria inilah yang dibutuhkan PPP saat ini.
PPP sedang mencari siapa sosok yang punya kriteria ini. Yang pasti, ia bukan Mardiono. Karena, Mardiono terbukti tidak memiliki daya tarik electoral dan telah mengakibatkan PPP gagal lolos ambang batas parlemen. Karena alasan inilah para kader dan simpatisan PPP beramai-ramai menolak Mardiono.
*Kepemimpinan Mardiono bahkan telah diasosiasikan sebagai kemunduruan dan kegagalan partai.*
Atas dasar ini, PPP butuh sosok yang mampu memberikan efek kejut, yaitu pemimpin yang mampu membawa PPP keluar dari kegagalan. Ia bisa kader senior PPP yang tidak terkait dengan kegagalan struktural partai di pemilu 2024. Juga tidak menutup kemungkinan adalah tokoh yang berasal dari luar partai.
Jika sosok itu dari luar partai, PPP harus mengubah AD/ART terlebih dahulu. PPP perlu melakukan amandemen AD/ART jika memang ada figur dari luar partai yang dianggap tepat dan mampu mengeluarkan PPP dari kegagalannya selama dipimpin Mardiono.
PPP punya dua pilihan yaitu biarkan AD/ART partai seperti apa adanya dengan konsekuensi PPP akan kesulitan menemukan figur yang mampu membawa PPP keluar dari kegagalan. Atau PPP lakukan amandemen AD/ART demi eksistensi partai kedepan untuk masuk kembali ke parlemen.
PPP kini berada pada persimpangan sejarah. Karena itu, PPP perlu menentukan sikap yang tepat untuk masa depannya agar bisa eksis kembali.
Saat ini, partai berlambang Ka'bah ini membutuhkan sosok pemimpin yang mampu membawanya keluar dari lubang kegagalan. Kegagalan menyiapkan calon pemimpin di Muktamar tanggal 27 Sepetember nanti akan berdampak pada marginalisasi permanen PPP dari perpolitikan nasional. Sebaliknya, lahirnya calon pemimpin yang tepat akan mampu menjadi katalisator yang mengangkat PPP untuk bangkit dari kegagalan.
Kudus, 15/9/2025
Dr. Ozi Setiadi*
Dosen IAIN Kudus