JAKARTA - Di tengah riuh rendah tudingan dugaan korupsi proyek kereta cepat Whoosh senilai Rp118 triliun, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut proyek warisan Joko Widodo itu tidak bermasalah menjadi sorotan tajam. Apakah ini upaya membungkam isu sensitif, ataukah KPK benar-benar serius membongkar potensi kerugian negara?
Klaim Presiden Prabowo bahwa proyek kereta cepat Whoosh 'tidak ada masalah' dan pemerintah siap membayar cicilan utang tahunan sebesar Rp1, 2 triliun, justru memicu pertanyaan lebih besar. Ia bahkan mengaitkan pembayaran utang tersebut dengan dana hasil rampasan korupsi yang diklaimnya berhasil dihemat.
"Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi [setelah diambil negara] saya hemat. Enggak saya kasih kesempatan. Jadi, Saudara, saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita, untuk rakyat semua, " ujar Prabowo di sela-sela peresmian Stasiun Tanah Abang Baru di Gambir, Jakarta, Selasa (04/01).
Namun, bagi sebagian pengamat ekonomi, pernyataan tersebut terkesan sebagai upaya menutup-nutupi. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai dugaan korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung sangat terang benderang. Ia menyoroti keputusan mantan Presiden Joko Widodo yang tiba-tiba menunjuk China sebagai mitra proyek, padahal tawaran Jepang menawarkan suku bunga pinjaman yang jauh lebih murah.
Anthony Budiawan memaparkan, Jepang menawarkan investasi sebesar US$6, 2 miliar dengan pinjaman 40 tahun berbunga 0, 1% per tahun. Sementara China, dengan nilai investasi awal US$5, 5 miliar yang kemudian membengkak menjadi US$6, 071 miliar, menawarkan bunga pinjaman 2% per tahun. Lebih parah lagi, terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1, 2 miliar dengan bunga utang membengkak menjadi 3, 4%. "Yang satu [Jepang] bunganya hanya 0, 1%, sedangkan yang satunya [China] bunga utangnya 2% atau 20 kali lipat lebih besar. Ini tanpa bicarakan cost overrun ya. Tanpa itu, proyek dari Jepang ini seharusnya lebih meringankan. Kenapa proyek dari China bisa dimenangkan? Ini yang seharusnya diusut, " jelas Anthony Budiawan kepada BBC News Indonesia.
Senada dengan Anthony, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy merasakan 'bau' dugaan korupsi yang sangat menyengat. Ia menyoroti kejanggalan pemilihan China dibanding Jepang, meskipun suku bunga yang ditawarkan China lebih tinggi. "Nah, kajian keuangan ini siapa yang memutuskan sehingga berani mengambil keputusan politik memilih China? Ini yang saya bilang, timnya harus dibongkar, " ucap Ichsanuddin Noorsy kepada wartawan.
Kejanggalan kedua, menurut Ichsanuddin, adalah pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1, 2 miliar akibat perubahan konstruksi dan ketidakstabilan tanah. "Pertanyaan besarnya seberapa jauh tim yang memutuskan memilih China, melakukan kajian secara mendalam sehingga argumentasi pembengkakan biaya itu bisa diterima?" ungkapnya.
Tak berhenti di situ, kejanggalan ketiga adalah dugaan adanya pihak luar yang sengaja mengambil keuntungan dari perubahan keputusan pemerintah. Ichsanuddin menyebut adanya 'asimetri informasi' yang sangat besar dalam pergeseran proyek dari Jepang ke China. Ia menekankan bahwa KPK harus segera menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membongkar ada-tidaknya kerugian negara.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa proses penyelidikan dugaan korupsi kereta cepat Whoosh akan terus berlanjut. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyatakan bahwa penyelidikan adalah prosedur esensial untuk mendapatkan kepastian hukum. "Penyelidikan, penyidikan, tidak ada larangan kan. Tidak ada satu larangan untuk melakukan penyelidikan. Kan alangkah bagusnya memang kalau ada penyelidikan sehingga ada kepastian hukum, " kata Tanak di Jakarta, Rabu (05/11/2025).
KPK mengaku telah memanggil sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangan. Juru bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan bahwa pihak yang dimintai keterangan adalah mereka yang diduga mengetahui konstruksi perkara. "Terkait dengan materi atau pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan, saat ini kami belum bisa menyampaikan detailnya secara lengkap seperti apa. Karena ini memang masih di tahap penyelidikan, " ujar Budi, Senin (03/01).
Meski KPK berupaya mengungkap kebenaran, pernyataan Presiden Prabowo berpotensi menimbulkan kekecewaan publik. Anthony Budiawan memperingatkan bahwa sikap yang terkesan membungkam dapat menciptakan citra negatif pemerintahan baru dan berdampak pada elektabilitas. "Saya rasa ini akan membuat masyarakat banyak kecewa. Karena kasus hukumnya jadi tidak jelas, seolah-olah pemerintah yang sekarang mau menutup-nutupi dugaan korupsi rezim sebelumnya, " papar Anthony.
Beban utang kereta cepat memang mengkhawatirkan. Anthony Budiawan menghitung, beban bunga utang yang ditanggung konsorsium Indonesia mencapai Rp1, 2 triliun per tahun. Ia menyarankan negosiasi restrukturisasi utang dengan China untuk menurunkan suku bunga menjadi 0, 1%, sehingga PT KAI hanya perlu membayar Rp75 miliar. "Jauh lebih murah kan ketimbang harus bayar Rp1, 2 triliun?" ungkapnya.
Pengamat ekonomi menilai, jika pemerintah memutuskan menggunakan uang hasil rampasan korupsi untuk membayar utang, persetujuan DPR mutlak diperlukan. Ketua Komisi IV DPR, Said Abdullah, menyatakan kesediaannya membahas hal tersebut, namun menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Ia juga mendorong KPK untuk segera menuntaskan penyelidikan demi memastikan tidak ada penyimpangan dana. (PERS)







































