HUMAN INTEREST - Pagi perlahan menembus dataran tinggi Afrika Timur. Udara dingin membawa aroma tanah kering dan kopi yang baru diseduh. Di kawasan industri Hawassa, suara mesin jahit terdengar serempak — nyaring, ritmis, seperti lagu baru dari tanah lama.
Ribuan perempuan muda duduk di depan mesin, menggerakkan kain demi kain menjadi pakaian bagi merek dunia: H&M, Calvin Klein, Tommy Hilfiger.
Tak banyak yang tahu, dari negeri yang dulu dikenal karena kelaparan dan perang, kini tumbuh harapan baru. Ethiopia sedang menjahit masa depan — benang demi benang, dari luka yang pernah mengoyak sejarahnya.
𝑫𝒂𝒓𝒊 𝑳𝒖𝒌𝒂 𝒌𝒆 𝑲𝒆𝒕𝒆𝒌𝒖𝒏𝒂𝒏
Tiga puluh tahun lalu, Ethiopia adalah wajah penderitaan dunia: perang saudara, kekeringan, dan kelaparan menewaskan jutaan jiwa. Tapi tahun 1991 menjadi titik balik. Rezim militer Derg tumbang, dan Meles Zenawi membawa arah baru: pembangunan yang dipimpin negara, bukan pasar.
Ia memperkenalkan konsep 'Developmental State' — negara yang tidak hanya mengatur, tapi memimpin. Terinspirasi Korea Selatan dan Jepang, Ethiopia membangun dari bawah: pertanian, infrastruktur, dan manusia.
𝑴𝒆𝒏𝒖𝒎𝒃𝒖𝒉𝒌𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒓𝒂𝒑𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝑳𝒂𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑺𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊
Mayoritas rakyat hidup dari tanah. Pemerintah meluncurkan 'Agricultural Development-Led Industrialization' : petani dilatih, irigasi dibangun, bibit unggul disebar, dan negara membeli hasil panen agar harga tetap stabil. Perlahan, lahan tandus menghijau.
“Sekarang kami bisa berdiri di atas kaki sendiri, ” kata seorang petani di Amhara kepada Mantan Dubes RI untuk Ethiopia, Al Busyra Basnur. Dari pertanian, Ethiopia menyiapkan pijakan menuju industrialisasi — mengolah hasil bumi menjadi nilai tambah.
𝑱𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑴𝒂𝒓𝒕𝒂𝒃𝒂𝒕
Pemerintah sadar, tanpa infrastruktur, pertumbuhan hanyalah mimpi. Jalan-jalan baru membelah lembah, rel kereta Addis–Djibouti menghubungkan negeri yang tak berpantai ke pelabuhan terdekat.
Simbol terbesar perubahan itu adalah 'Grand Ethiopian Renaissance Dam' di Sungai Nil Biru — bendungan raksasa yang dibangun tanpa bantuan asing.
Bahkan, 'renaissance dam' ini menjadi salahsatu sumber penggerak utama berjalannya sistem 'crypto currency' (bitcoint)
Bagi rakyat Ethiopia, bendungan itu bukan sekadar energi, tapi martabat: bukti bahwa mereka bisa membangun sesuatu besar dengan tangan sendiri. “Ethiopia ingin menulis kisahnya sendiri, ” ujar Al Busyra.
𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑫𝒊𝒔𝒊𝒑𝒍𝒊𝒏
Sekolah tumbuh di pelosok, guru dilatih, rumah sakit diperbanyak. Angka harapan hidup meningkat, jutaan anak kini bisa membaca.
Tetapi kemajuan Ethiopia tak hanya soal kebijakan, melainkan budaya kerja: disiplin, hormat pada aturan, dan nasionalisme yang kuat.
“Tak ada jalan pintas menuju kemajuan, ” kata Al Busyra. “Mereka bekerja dengan kesadaran bahwa perubahan adalah tanggung jawab bersama.”
𝑲𝒆𝒑𝒆𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊𝒏𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑰𝒏𝒔𝒑𝒊𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑨𝒇𝒓𝒊𝒌𝒂 𝑩𝒂𝒓𝒖
Dari Afrika kini muncul generasi pemimpin yang menolak ketergantungan. Salah satunya Ibrahim Traoré, pemimpin muda Burkina Faso yang menjadi simbol kebangkitan pan-Afrika. Ia dikenal sederhana dan berani, berpakaian militer tanpa kemewahan, berbicara lantang soal kedaulatan dan harga diri bangsa.
Di usia muda, Traoré menegaskan bahwa kepemimpinan bukan soal usia, tapi visi dan keberanian. Ia mendorong generasi muda Afrika mengelola sumber daya sendiri dan memutus ketergantungan pada bantuan luar. Semangat seperti inilah yang juga hidup di Ethiopia: keyakinan bahwa kemajuan sejati hanya bisa dijahit oleh tangan sendiri
𝑷𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝑫𝒖𝒏𝒊𝒂
Kisah Ethiopia menjadi cermin bagi banyak negara berkembang. Kemajuan tak lahir dari kekayaan sumber daya, tapi dari arah yang jelas dan kesabaran kolektif.
Di bawah langit Afrika yang dulu kelabu, Ethiopia menenun harapan baru. Di pabrik, ladang, dan ruang kelas, mereka bekerja dalam diam — percaya bahwa kemajuan bukan hadiah, melainkan hasil dari kerja keras yang sabar.
Ethiopia belum sepenuhnya makmur, tapi telah menempuh jalan yang dulu tak terpikirkan: dari kelaparan menuju kebangkitan. Dari tanah gersang, lahir kehidupan. Dari luka, tumbuh cahaya
Indonesia pun bisa belajar dari semangat itu — membangun dari hal paling dasar: sawah, jalan, ruang kelas, dan kepercayaan diri. Bahwa bangsa besar bukan yang tumbuh cepat, tapi yang tumbuh dengan pondasi yang kokoh dan berdiri tegak dengan kaki sendiri.
Oleh: Indra Gusnady















































