Gaji Guru dan Dosen Disinggung, Menkeu Sri Mulyani Lempar Wacana Partisipasi Masyarakat

1 month ago 21

BANDUNG - Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengenai rendahnya gaji guru dan dosen di Indonesia memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Isu sensitif ini mencuat saat acara Konvensi Sains dan Teknologi Industri Indonesia (KSTI) di Sasana Ganesha Budaya (Sabuga) ITB, Bandung, Jawa Barat pada (7/8/2025).

Menariknya, dalam forum tersebut, Sri Mulyani justru melontarkan pertanyaan kontroversial mengenai kemungkinan partisipasi masyarakat dalam pendanaan gaji para tenaga pengajar ini.

"Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar, ini salah satu tantangan bagi keuangan negara, " kata Sri Mulyani, (7/8/2025).

Lebih lanjut, ia mempertanyakan, "Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat, " katanya.

Sebagai seseorang yang juga pernah merasakan pahit getirnya menjadi mahasiswa dengan orang tua seorang guru, isu ini terasa sangat personal. Dulu, saya sering mendengar keluh kesah ibu tentang bagaimana sulitnya mencukupi kebutuhan keluarga dengan gaji yang pas-pasan. Semangatnya untuk mendidik tak pernah padam, meski seringkali harus mengencangkan ikat pinggang.

Pernyataan Menkeu ini kemudian dikritisi oleh Sri Lestari, seorang pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Sri Lestari, yang mendalami discourse analysis, conversation analysis, dan literacy development, menilai bahwa pernyataan tersebut terkesan tidak empatik dan justru melempar tanggung jawab.

Menurutnya, guyonan soal jenis-jenis dosen dapat menimbulkan kasta di kalangan dosen.

"Dosen di Indonesia tidak hanya menjalankan penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat, ditambah beban administratif yang besar. Pertanyaannya, apakah indikator kinerja yang selama ini digunakan sudah adil, transparan, dan tidak memberatkan?" ujar Sri dalam laman UM Surabaya, dikutip Sabtu (16/8/2025).

Sri Lestari juga menyoroti potensi privatisasi pendidikan sebagai dampak dari wacana ini. Ia khawatir, meskipun lazim di negara lain, privatisasi di Indonesia justru akan memperlebar jurang ketimpangan. Perguruan tinggi dengan reputasi mentereng akan semakin mudah mendapatkan dukungan, sementara kampus-kampus di daerah akan semakin tertinggal.

Privatisasi pendidikan berpotensi membuat biaya pendidikan mahal dan akses terbatas. Misalnya pada Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), tugas dosen menjadi lebih banyak mengajar mahasiswa asing daripada melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat.

"Perlu ada reformasi menyeluruh terhadap indikator kinerja dosen agar lebih berkualitas, berdampak, kompetitif, dan manusiawi. Penilaian tidak hanya berbasis kuantitas publikasi, tetapi pada kualitas, manfaat, dan dampaknya terhadap kesejahteraan dosen dan kemajuan Indonesia, " tegasnya.

Di tengah perdebatan ini, satu hal yang pasti adalah pendidikan merupakan fondasi utama kemajuan bangsa. Gaji guru dan dosen yang layak bukan sekadar soal angka, tetapi juga soal penghargaan terhadap dedikasi dan kontribusi mereka dalam mencetak generasi penerus. Kita perlu menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan sekadar beban anggaran. (Kabar Menteri)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |