JAKARTA - Indonesia mengambil langkah strategis dalam memperkuat kerja sama energi globalnya. Sebagai negara terpadat keempat di dunia dan anggota baru BRICS, Indonesia berencana meningkatkan kolaborasi energi dengan Rusia, termasuk menggandeng raksasa energi seperti Gazprom dan Rosneft. Langkah ini merupakan bagian dari visi besar Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 dan mengakselerasi program hilirisasi sumber daya alam.
Dalam sebuah forum internasional yang diselenggarakan secara hibrida di St. Petersburg, Rusia, pada Jumat (10/10), Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satya Hangga Yudha Widya Putra, yang akrab disapa Hangga, menyampaikan keterbukaan Indonesia untuk berkolaborasi di seluruh lini energi strategis. Mulai dari adopsi teknologi canggih untuk penemuan cadangan gas raksasa, pengembangan energi nuklir, hingga penerapan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCS/CCUS).
“Indonesia berfokus pada transformasi strategis energi menuju net zero emission (NZE) pada 2060 dan program hilirisasi di seluruh sektor sumber daya alam, ” ungkap Hangga dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (12/10/2025) .
Hangga menjelaskan bahwa meskipun Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam melimpah, tantangan signifikan masih dihadapi. Di antaranya adalah tren penurunan produksi minyak mentah, ketergantungan pada impor minyak mentah dan produk turunannya seperti LPG, serta kapasitas produksi kilang minyak yang masih terbatas. Situasi ini, menurutnya, membebani devisa negara dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp523 triliun per tahun, menegaskan betapa urgennya agenda hilirisasi.
“Ketergantungan impor ini menimbulkan kerugian devisa yang diperkirakan mencapai Rp523 triliun per tahun, yang menyoroti urgensi agenda hilirisasi, ” ujarnya.
Berbeda dengan minyak, Indonesia justru menikmati surplus gas alam. “Berbeda dengan minyak, Indonesia tetap menjadi eksportir gas alam, ” tegasnya.
Untuk menjawab tantangan defisit sumber daya dan mengurangi ketergantungan impor, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi Strategis melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Satgas ini memiliki mandat untuk mengoordinasikan 26 komoditas vital, mencakup migas, mineral, hingga energi baru, dengan fokus utama mempercepat hilirisasi dan mengidentifikasi proyek-proyek strategis.
Hangga menekankan bahwa sektor energi adalah isu multisectoral yang memerlukan pendekatan kolaboratif. Ia mencontohkan, fasilitasi investasi asing, seperti potensi keterlibatan Rosneft dalam proyek Kilang Tuban, membutuhkan sinergi lintas 14 kementerian, mulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Keuangan, hingga Kepolisian RI.
“Jika kita ingin memecahkan masalah energi utama di Indonesia, kita harus bekerja sama lintas kementerian. Tidak bisa diselesaikan satu kementerian, ” tegas Hangga.
Lebih lanjut, Hangga memaparkan bahwa transisi energi di Indonesia sangat memprioritaskan aksesibilitas, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan lingkungan. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.687 gigawatt (GW), namun baru dimanfaatkan sekitar 0, 4 persen, menunjukkan ruang pertumbuhan yang sangat luas. Program biodiesel B40 yang akan diterapkan pada 2025, dilanjutkan dengan rencana B50 pada 2026, menjadi bukti nyata komitmen pemanfaatan energi nabati.
Teknologi CCS/CCUS juga diidentifikasi sebagai salah satu metode dekarbonisasi kunci, dengan target 15 proyek beroperasi sebelum tahun 2030. Potensi penyimpanan CO2 di Indonesia diperkirakan mencapai 25, 5-68, 2 miliar ton.
Dalam upaya mendukung target NZE 2060, Indonesia juga tengah menjajaki opsi energi nuklir melalui pengembangan reaktor modular kecil (SMR). Pemanfaatan teknologi dari perusahaan seperti Rosatom Rusia tengah dipertimbangkan untuk memfasilitasi pengembangan di sektor ini, dengan potensi lokasi seperti Kalimantan dan Sumatera. (PERS)