PEMERINTAHAN - Sejarah adalah guru yang tidak pernah lelah mengajarkan pelajaran yang sama: kekuasaan yang menindas, yang menutup telinga terhadap jeritan rakyat, pada akhirnya akan tumbang. Revolusi Iran tahun 1979, Revolusi Prancis tahun 1789, dan berbagai pergolakan lainnya menunjukkan bahwa rakyat bukan sekadar angka dalam statistik, bukan sekadar kumpulan massa yang bisa ditekan seenaknya. Ketika kesabaran mereka habis, mereka bisa menjadi kekuatan yang tak terbendung.
Indonesia pun memiliki sejarah yang membuktikan hal ini. Rezim yang dulu begitu kuat, begitu angkuh, akhirnya jatuh ketika rakyat bersatu.
Syah Iran: Dinasti yang Tumbang Karena Arogansi
Mohammad Reza Pahlavi, Syah Iran, berkuasa dengan tangan besi. Ia mengandalkan militer yang represif dan polisi rahasia SAVAK untuk membungkam oposisi. Dukungan Amerika Serikat membuatnya semakin percaya diri, menganggap bahwa selama ia punya kekuatan militer dan dukungan asing, rakyat tidak akan berani melawan.
Namun, ia lupa bahwa kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kebijakan sekularisasi yang dipaksakan telah menanam benih perlawanan di hati rakyat Iran. Tahun 1979, rakyat yang sudah muak akhirnya bangkit. Demonstrasi yang awalnya kecil berubah menjadi revolusi besar yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Syah Iran terpaksa melarikan diri, mengemis suaka dari satu negara ke negara lain, hingga akhirnya meninggal dalam pengasingan—tanpa bisa kembali ke tanah airnya.
Raja Louis XVI: Monarki yang Berpesta di Atas Kesengsaraan Rakyat
Prancis pada abad ke-18 adalah contoh nyata bagaimana ketimpangan ekonomi bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan kekuasaan. Raja Louis XVI dan istrinya, Marie Antoinette, hidup dalam kemewahan di Istana Versailles, sementara rakyatnya kelaparan. Mereka menaikkan pajak pada rakyat kecil, tapi membebaskan para bangsawan dan gereja dari beban ekonomi.
Ketika rakyat mulai menuntut keadilan, sang raja menanggapinya dengan kesombongan. Namun, kesabaran rakyat tidak abadi. Bastille, penjara simbol tirani monarki, diserbu pada 14 Juli 1789. Itu menjadi awal dari Revolusi Prancis yang mengguncang dunia. Pada akhirnya, Raja Louis XVI dan Marie Antoinette diadili dan dihukum mati dengan guillotine. Kekuasaan absolut yang selama berabad-abad dianggap tak tergoyahkan pun runtuh.
Indonesia: Dari Reformasi 1998 Hingga Ketidakpuasan Rakyat Hari Ini
Indonesia juga memiliki sejarah perlawanan rakyat yang mengubah jalannya kekuasaan. Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto pernah dianggap begitu kokoh. Dengan kendali penuh atas militer, media, dan kekuatan ekonomi, Soeharto memerintah selama lebih dari tiga dekade.
Namun, krisis ekonomi 1997-1998 menjadi pemicu yang membuat rakyat muak. Mahasiswa turun ke jalan, buruh mulai bersuara, masyarakat yang selama ini takut mulai bangkit. Tembakan aparat di Trisakti yang menewaskan mahasiswa justru semakin menyulut kemarahan. Akhirnya, Soeharto yang dulu begitu berkuasa harus mundur pada 21 Mei 1998.
Kini, lebih dari dua dekade setelah Reformasi, Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan: korupsi yang merajalela, ketimpangan ekonomi, pengabaian terhadap aspirasi rakyat, dan kecurigaan terhadap demokrasi yang semakin mundur. Rakyat mulai merasa bahwa perjuangan 1998 seolah sia-sia karena praktik oligarki dan korupsi tetap berlanjut.
Kasus-kasus besar seperti skandal e-KTP, Jiwasraya, ASABRI, BTS Kominfo, timah Bangka Belitung, Pertamina, emas PT Antam, Garuda Indonesia, Bank Century, dan BLBI menunjukkan bahwa elite penguasa masih bermain dengan uang rakyat tanpa rasa takut. Ketika rakyat mengeluh soal harga beras, minyak goreng, atau BBM yang naik, mereka justru melihat pejabat berpesta dengan fasilitas mewah, jet pribadi, dan transaksi ratusan triliun yang raib entah ke mana.
Mungkin saat ini, rakyat Indonesia masih bersabar. Tapi sejarah menunjukkan bahwa kesabaran itu ada batasnya. Jika suara rakyat terus diabaikan, jika keadilan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, maka jangan heran jika suatu saat mereka akan bangkit kembali, seperti yang terjadi di Prancis, Iran, dan bahkan di Indonesia sendiri pada 1998.
Rakyat bukan sekadar penonton dalam panggung politik. Mereka adalah kekuatan yang bisa mengguncang kekuasaan. Para pemimpin yang bijak akan belajar dari sejarah, karena mereka yang tidak mau belajar akan mengulang kesalahan yang sama—dan akhirnya mengalami nasib serupa.
Jakarta, 08 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi