Hendri Kampai: Korupsi Dimana-mana, Retorika Pemberantasan Korupsi Bikin Rakyat Muntah

1 month ago 21

BIDIK KASUS - Setiap kali ada pejabat ditangkap karena korupsi, publik bereaksi dengan dua ekspresi yang makin lama makin serupa: muak dan bosan. Bagaimana tidak?

Kasus korupsi seolah tak ada habisnya. Yang kemarin ditangkap baru pejabat tingkat bawah, besok giliran pejabat menengah. Lusa? Tinggal tunggu waktu, giliran para elite yang tersandung. Siklusnya berjalan mulus, seakan menjadi rutinitas nasional yang disaksikan rakyat dalam serial berita kriminal di televisi.

Ironisnya, di balik semua itu, narasi pemberantasan korupsi tetap berkumandang gagah: mulai dari pidato-pidato lantang, jargon-jargon megah, hingga gebrakan meja penuh semangat. Tapi ujung-ujungnya? Nihil. Rakyat hanya bisa menatap nanar sambil berkata dalam hati, “Lagi-lagi retorika.”

Bagaimana tidak bikin muntah? Hampir setiap pergantian kekuasaan selalu diiringi janji manis untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Tapi, alih-alih habis, akarnya justru semakin menjalar liar, menyusup ke tiap sendi birokrasi.

Hebatnya, korupsi di negeri ini sudah seperti warisan budaya. Bayangkan, dari urusan izin usaha, proyek infrastruktur, sampai bansos pun tak luput dari bancakan. Dan rakyat kecil? Harus rela menelan ludah melihat uang negara yang seharusnya buat pembangunan, malah masuk kantong segelintir orang rakus.

Celakanya lagi, lembaga-lembaga yang seharusnya jadi garda terdepan pemberantasan korupsi pun tak luput dari sorotan. Ada saja isu internal, mulai dari dugaan permainan perkara hingga lobi-lobi politik yang bikin kinerja anti-rasuah mandek.

Sementara di luar sana, rakyat cuma bisa nonton sambil mengelus dada. Begitu ada kasus besar terungkap, suara optimisme muncul sebentar. "Ah, akhirnya ada tindakan tegas!" pikir rakyat. Tapi, baru hitungan minggu, semua reda. Kasus menguap. Drama baru muncul. Akhirnya, kita terjebak dalam lingkaran setan pemberitaan korupsi tanpa akhir.

Padahal, kalau dipikir, apa susahnya memberantas korupsi? Bukankah tinggal tegakkan hukum tanpa pandang bulu? Toh, regulasi ada, aparat ada, teknologi pendukung pun makin canggih. Tapi faktanya, ketika kepentingan elite mulai terusik, pemberantasan korupsi seperti berjalan di atas tali rapuh. Sedikit saja goyah, jatuh. Dan setiap kali jatuh, yang dikorbankan tetap sama: kepercayaan rakyat.

Hari ini, saat rakyat makin melek informasi, retorika kosong soal pemberantasan korupsi justru makin mudah terbaca. Tak heran jika akhirnya banyak yang memilih apatis. "Buat apa protes? Toh ujung-ujungnya sama saja." Kalimat itu makin sering terdengar, seolah menjadi mantra putus asa berjamaah.

Maka, jika para pemegang kekuasaan benar-benar peduli, berhentilah bermain kata-kata manis. Yang dibutuhkan rakyat bukan pidato heroik soal integritas, tapi bukti nyata. Tangkap, adili, dan hukum berat para koruptor tanpa pandang bulu, tanpa negosiasi belakang layar.

Kalau tidak, bersiaplah. Suatu hari nanti, bukan hanya muntah, rakyat bisa-bisa memuntahkan kekuasaan itu sendiri lewat ketidakpercayaan total.

Korupsi di mana-mana, retorika di mana-mana. Lalu kapan kita benar-benar berbenah? Atau jangan-jangan, kita memang sudah nyaman hidup dalam kubangan ini?

Jakarta, 05 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |