PROFIL - Di tengah riuhnya sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terselip kisah-kisah luar biasa dari para pahlawan wanita yang keberaniannya membakar semangat kemerdekaan. Salah satunya adalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said, atau yang lebih dikenal sebagai HR Rasuna Said. Sosoknya bukan sekadar nama di jalan protokol ibu kota, melainkan lambang perlawanan gigih dan suara lantang yang tak gentar menyuarakan martabat dan hak-hak perempuan Indonesia di masa-masa paling kelam.
Lahir di Agam, Sumatera Barat, pada 14 September 1910, Rasuna Said tumbuh dalam lingkungan keluarga terpandang yang kental akan nilai-nilai agama dan kewirausahaan. Sejak dini, ia telah menunjukkan ketertarikan mendalam pada ilmu pengetahuan agama, terbukti dengan keputusannya melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren Ar-Rasyidiyah, bahkan menjadi satu-satunya santri perempuan di sana. Pengalaman ini membentuk fondasi kuat yang kelak membawanya menjadi agen perubahan.
Jenjang pendidikannya berlanjut ke sekolah agama Diniyah Putri Padang Panjang. Tak hanya mendalami ilmu agama, di sekolah inilah semangatnya untuk memberdayakan perempuan semakin membara. Ia tak segan memotivasi para siswi untuk memiliki cita-cita setinggi langit, bahkan berani berujar, "Perempuan harus bisa lebih maju daripada laki-laki. Selain itu perlakukan tidak adil ke wanita harus dilawan." Kalimat-kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan manifestasi dari keyakinannya yang mendalam.
Perjalanan pribadinya pun tak luput dari lika-liku. Di usia muda, tepatnya 19 tahun, ia menikah dengan Duski Samad, sosok yang menjadi mentor baginya. Meskipun pernikahan ini sempat ditentang karena perbedaan latar belakang keluarga, takdir berkata lain. Pernikahan tersebut tak bertahan lama, sebuah keputusan berat yang diambil Rasuna Said karena kesibukan masing-masing dan minimnya komunikasi. Namun, di balik perpisahan itu, tersembunyi prinsip kuatnya yang menentang poligami. Ia bahkan lebih memilih bercerai daripada harus berbagi suami, sebuah sikap progresif yang sangat jarang ditemui pada masanya.
Pada usia 20 tahun, ia meninggalkan dunia mengajar, merasa belum cukup memberikan dampak. Jiwanya yang membara mencari wadah yang lebih luas. Ia merangkul dunia pergerakan, bergabung dengan Sarekat Rakyat (SR) dan gerakan Islam Modern Soematra Thawalib. Puncaknya, pada tahun 1930, ia mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukit Tinggi. Di sinilah bakat orasinya bersinar terang. Setiap pidatonya selalu bergema, menyuarakan hak-hak perempuan yang sering terabaikan. Tak hanya itu, ia tak gentar mengkritik keras pemerintah kolonial Belanda. Orasinya yang membakar semangat pribumi ini tak pelak membuat Belanda merasa terancam. Pada tahun 1932, di usianya yang baru menginjak 22 tahun, ia diasingkan ke Semarang.
Namun, penjara tak mampu memadamkan semangat juangnya. Di masa pengasingan, ia justru menemukan jalan baru sebagai jurnalis pada tahun 1935. Melalui tulisan-tulisannya, ia terus melancarkan kritik tajam kepada para penguasa. Ia bahkan sempat menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah raya di Semarang. Merasa pergerakan di Semarang kurang optimal, ia memutuskan pindah ke Medan. Di kota ini, pada usia 27 tahun, ia mendirikan Perguruan Poeteri dan meluncurkan majalah mingguan Menara Poeteri. Slogan majalahnya yang berapi-api, "Ini dadaku, Mana dadamu", senada dengan semangat Soekarno, tak hanya menyerukan kemajuan perempuan, tetapi juga ajakan pergerakan antikolonialisme.
Setelah Indonesia merdeka, kiprahnya tak berhenti. Ia terus aktif di berbagai organisasi, termasuk Komite Nasional Indonesia dan Badan Penerangan Pemuda Indonesia. Jabatan sebagai anggota dewan perwakilan Sumatera, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat, hingga Dewan Pertimbangan Agung, menunjukkan betapa besar kontribusinya bagi negara.
HR Rasuna Said menghembuskan napas terakhirnya di Jakarta pada 2 November 1965, di usia 55 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas dedikasinya yang luar biasa, pada tahun 1974, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Namanya kini terukir abadi di jalan protokol Kuningan, Jakarta, sekaligus menjadi pengingat akan keberaniannya.
Dikenal sebagai "Singa Podium" dan orator ulung, Rasuna Said memiliki kesamaan perjuangan dengan RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia dan mendirikan sekolah. Namun, keduanya memiliki perbedaan pandangan krusial mengenai poligami. Rasuna Said teguh pada pendiriannya menentang praktik tersebut, sebuah pandangan progresif yang mencerminkan pemikirannya yang maju. Ia meyakini bahwa perempuan Indonesia harus merdeka dalam berpikir dan turut serta dalam perjuangan bangsa. (PERS)





































