Ironi Gula: Impor Hancurkan Petani, Sidang Ungkap Jurang Harga

4 days ago 8

JAKARTA - Sebuah ironi pahit terkuak di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025), meruntuhkan gambaran ideal tentang industri gula nasional. Sidang lanjutan kasus dugaan importasi gula mengungkap jurang lebar antara nasib petani tebu lokal dan keuntungan produsen yang bergantung pada gula impor. Hal ini menjadi sorotan tajam saat Hakim Anggota Alfis Setiawan mencecar mantan Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, yang dihadirkan sebagai saksi kunci.

Awalnya, pertanyaan hakim sederhana: apa perbedaan mendasar antara harga produksi gula dari tebu sendiri dengan gula mentah yang diimpor? Jawaban Wahyu Kuncoro membuka mata banyak pihak. Ia membeberkan bahwa biaya produksi gula dari tebu petani bisa mencapai Rp 10.000 per kilogramnya. Namun, angka ini merosot drastis ketika bahan baku yang diolah berasal dari gula mentah impor.

“Kenapa beda produksinya?” tanya Hakim Alfis Setiawan dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025). “Jadi, memang itu uniknya industri gula yang mulia, ” jawab Wahyu Kuncoro, mencoba menjelaskan kompleksitas yang terjadi.

Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata, Wahyu mengutip contoh dari Brasil, raksasa penghasil gula dunia. “Di Brasil itu, di sana tebu diambil energinya, cogeneration. Jadi, untuk etanol, bahan bakar, listrik, itu semua diambil dari gula, ” paparnya. Tebu yang energinya sudah dimanfaatkan secara maksimal ini menghasilkan gula yang kemudian diekspor karena sudah tidak menjadi prioritas konsumsi domestik Brasil. Gula inilah yang akhirnya membanjiri pasar Indonesia.

“Sehingga gulanya itu (di Brasil) merupakan excess, enggak dikonsumsi ini karena sudah diambil energinya. Itulah yang diimpor ke Indonesia, ” urai Wahyu Kuncoro lebih lanjut.

Harga gula mentah impor yang masuk ke Indonesia, menurut Wahyu, berkisar di angka Rp 7.500 per kilogram. Meskipun masih mentah dan memerlukan proses lanjutan agar siap dikonsumsi, biaya tambahan untuk pengolahan ini diperkirakan hanya Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, jika gula olahan ini dijual seharga Rp 9.000 per kilogram, produsen masih bisa meraup keuntungan.

“Pada prinsipnya, gula dunia surplus, Thailand surplus 12 juta, konsumsi dalam negeri (Thailand) hanya 3 juta. Itu (surplus gula) kebuang lah ke kita, ” imbuhnya, menekankan betapa besarnya pasokan gula asing yang siap mendominasi.

Wahyu Kuncoro dengan tegas menyatakan bahwa harga gula yang diproduksi oleh petani lokal hanya bisa beranjak naik jika pemerintah benar-benar menutup keran impor. Sebaliknya, membuka pintu impor justru akan menghancurkan harga gula petani.

“Kalau negara tidak memproteksi untuk melarang impor, barulah gula petani naik. Tapi impor dibuka, akan turun harga, ” tegas Wahyu Kuncoro.

Hakim Alfis Setiawan kembali menimpali, “Artinya, keran impor gula mentah itu dibuka, yang mana gula mentah itu kemudian diolah menjadi gula putih, itu ada konsekuensi ke petani ya?” Pertanyaan yang mengundang jawaban getir dari Wahyu Kuncoro: “(Harga) pasti anjlok.”

Dalam kasus yang sedang bergulir ini, sembilan terdakwa dari pihak korporasi diduga telah menimbulkan kerugian negara senilai Rp 578 miliar. Sebelumnya, Eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sempat menjadi salah satu terdakwa, namun kemudian menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada 1 Agustus 2025, yang menghapus proses hukum dan akibat hukum atas perbuatannya. Di sisi lain, Mantan Direktur PT PPI, Charles Sitorus, telah divonis 4 tahun penjara terkait kasus serupa. Sementara itu, sembilan terdakwa dari pihak korporasi masih menjalani proses persidangan. (Wajah Koruptor)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |