Ketika Dompet Jadi Tuhan

8 hours ago 5

Ia datang dengan wajah penuh percaya diri,
seakan dunia bisa ia genggam dalam genggaman,
padahal langkahnya hanya mengikuti aroma uang,
menyusuri jejak harta demi kenyamanan semu.

Wanita yang peduli padanya,
menawarkan hati seputih embun pagi,
dengan kesetiaan yang tak pernah goyah,
namun ia selalu meremehkan,
karena di tangannya tak ada perhiasan,
karena di rumahnya tak ada tumpukan harta.

“Kasihmu tak bisa memberiku apa-apa, ”
begitu suara hatinya yang pongah,
ia buta oleh kilau dunia,
tak sadar cinta sejati sedang berdiri di sampingnya.

Ia mengejar wanita beruang,
menunduk di hadapan dompet penuh,
berusaha mati-matian untuk memuaskan ambisi,
meski harus menukar harga diri.
Baginya, cinta hanyalah tiket menuju kenyamanan,
setiap pelukan ada hitungan,
setiap janji ada syarat di baliknya.

Padahal, di luar sana,
wanita sederhana menahan perih,
tetap peduli, tetap setia,
meski tak pernah dihargai.
Ia menunggu dengan sabar,
menaruh harap pada cinta yang tak pernah ia dapatkan.

Ketika dompet jadi tuhan,
nurani kehilangan arah.
Kesetiaan tak lagi bernilai,
dan cinta tulus dianggap sampah.

Lelaki itu lupa
uang bisa membeli pesta,
tapi tak pernah bisa membeli doa.
Uang bisa membeli wajah cantik,
tapi tak pernah bisa membeli ketulusan hati.

Dan suatu hari nanti,
ketika harta pergi menjauh,
ketika wanita beruang meninggalkan tanpa jejak,
barulah ia menoleh pada yang dulu ia remehkan.
Sayang, saat itu sudah terlambat—
karena hati yang terbuang
takkan pernah kembali pulang.(Lindafang)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |