SURABAYA – Drama persidangan kasus korupsi dana hibah tahun 2022 yang menyeret Muhammad Taufik Agus Susanto, mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Ngawi, memasuki babak baru. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp50 juta. Sebuah putusan yang jauh dari tuntutan awal jaksa, memicu reaksi keras dari tim pembela.
Vonis yang dibacakan Hakim Abdul Ghani ini bak oase di tengah gurun pasir bagi Taufik. Bagaimana tidak, jaksa sebelumnya menuntut hukuman 8 tahun 6 bulan penjara serta uang pengganti sebesar Rp17, 7 miliar. Perbedaan yang signifikan ini tentu saja menjadi amunisi bagi tim kuasa hukum untuk terus berjuang.
“Yang jelas kami akan banding. Tapi prinsipnya, apa yang didakwakan jaksa itu tidak sepenuhnya diikuti hakim. Bahkan lebih dari 50 persen didiskualifikasi. Hakim memutus hanya 4 tahun dan tidak ada uang pengganti, ” ujar Faisol, S.H., penasihat hukum Taufik, kepada awak media usai sidang, Kamis (10/7/2025).
Faisol menyoroti perbedaan mencolok dalam perhitungan kerugian negara. Jaksa meyakini angka fantastis Rp18 miliar, namun hakim hanya menetapkan Rp358 juta.
“Artinya, perhitungan kerugian versi jaksa itu sebenarnya zonk. Karena hakim hanya meyakini ada kerugian Rp358 juta dan itu pun hanya berkaitan dengan kegiatan di Pokja (kelompok kerja), bukan dari keputusan Taufik sendiri, ” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa peran kliennya dalam proses hibah terbatas pada tahap perencanaan dan tidak memiliki wewenang mencairkan dana, apalagi setelah berhenti menjabat pada 16 September 2021.
Lebih lanjut, Faisol menjelaskan bahwa verifikasi dana hibah, khususnya Bantuan Operasional Sekolah Madrasah Diniyah (Bos Madin), bukanlah kesalahan pribadi terdakwa, melainkan bagian dari sistem administrasi yang telah berjalan lama.
“Verifikasi itu bukan tanggung jawab pribadi terdakwa. Itu sudah merupakan rangkaian kebijakan bertahun-tahun. Bahkan dalam pembinaan, itu diperbolehkan berturut-turut. Jadi ini bukan ranah pidana, hanya administratif, ” tambahnya. Saya membayangkan betapa frustrasinya tim pembela ketika melihat klien mereka terseret dalam pusaran masalah yang menurut mereka lebih bersifat administratif daripada pidana.
Meskipun menghormati putusan hakim, tim kuasa hukum bertekad mengajukan banding demi mencari keadilan yang lebih utuh, terutama terkait aspek verifikasi yang mereka anggap tidak seharusnya menjadi dasar pemidanaan.
“Kami tetap menjunjung tinggi jaksa maupun hakim. Tapi kami hanya membela klien kami demi kebaikan, demi keadilan, ” pungkas Faisol.
Kasus ini tentu menjadi pelajaran berharga. Bagaimana sebuah proses administrasi yang kurang cermat dapat menyeret seseorang ke dalam jeratan hukum. Pertanyaannya, apakah vonis ini akan menjadi akhir dari segalanya, atau justru menjadi awal dari babak baru dalam upaya mencari keadilan? (WajahKoruptor.com)