JAKARTA - Lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini tengah mengkaji kemungkinan pemanggilan mantan Menteri Ketenagakerjaan. Langkah ini diambil menyusul penetapan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan era kepemimpinan Hanif Dhakiri, Hery Sudarmanto (HS), sebagai tersangka.
Hery Sudarmanto sebelumnya telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan yang berkaitan dengan pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di lingkungan Kemenaker. Penyelidikan mendalam terus dilakukan untuk mengungkap pihak-pihak lain yang mungkin terlibat atau menikmati aliran dana dari praktik korupsi ini.
“Jadi, dari bukti-bukti, fakta-fakta, dan petunjuk yang ditemukan oleh penyidik, nanti kami akan terus telusuri kepada pihak-pihak siapa saja yang memang punya peran ataupun mendapatkan aliran dari dugaan tindak pidana korupsi ini, sehingga jelas perbuatan melawan hukumnya seperti apa, ” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Budi Prasetyo menambahkan bahwa penetapan seorang tersangka, seperti Hery Sudarmanto, selalu didasarkan pada kecukupan alat bukti yang berhasil dikumpulkan oleh tim penyidik KPK. Ia menekankan pentingnya proses pembuktian yang cermat.
Kasus ini mencuat lebih luas pada 5 Juni 2025, ketika KPK mengumumkan identitas delapan orang tersangka awal. Mereka adalah aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker yang bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad. Diduga, mereka telah mengumpulkan pundi-pundi fantastis senilai sekitar Rp53, 7 miliar melalui praktik pemerasan dalam pengurusan RPTKA selama periode 2019–2024, yang merupakan era Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Pentingnya RPTKA dalam konteks ini adalah sebagai salah satu persyaratan krusial bagi tenaga kerja asing untuk bisa bekerja di Indonesia. Tanpa penerbitan RPTKA oleh Kemenaker, proses penerbitan izin kerja dan izin tinggal bagi tenaga kerja asing akan terhambat. Konsekuensinya, para tenaga kerja asing tersebut dapat dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari, yang pada akhirnya mendorong para pemohon RPTKA untuk terpaksa memberikan sejumlah uang kepada para tersangka demi kelancaran proses.
Lebih jauh lagi, KPK mengungkapkan bahwa praktik pemerasan dalam pengurusan RPTKA ini diduga telah berlangsung lama. Akarnya bahkan ditelusuri sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014. Praktik ini kemudian dilanjutkan oleh Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan berlanjut pada masa kepemimpinan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
Menindaklanjuti temuan ini, KPK telah melakukan penahanan terhadap delapan tersangka tersebut. Kloter pertama penahanan dilakukan pada 17 Juli 2025, diikuti oleh kloter kedua pada 24 Juli 2025. Perkembangan terbaru terjadi pada 29 Oktober 2025, ketika KPK mengumumkan penambahan tersangka baru dalam kasus ini, yakni Hery Sudarmanto, Sekjen Kemenaker pada era Hanif Dhakiri. (PERS)








































