Membangun Ekosistem Keuangan Sehat Untuk UMKM Bebas Pinjol

1 week ago 11

OPINI -   Pinjaman online (Pinjol) telah menjadi pilihan populer bagi banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia untuk memperoleh dana dengan cepat. Kemudahan akses dan proses pencairan yang singkat menjadikan pinjol sebagai solusi instan bagi kebutuhan modal usaha.

Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat risiko besar yang mengintai, terutama terkait dengan tingginya suku bunga dan praktik penagihan yang meresahkan.

Berdasarkan data hingga Agustus 2024, "outstanding" pinjaman dari peer-to-peer (P2P) lending kepada UMKM berbadan usaha tumbuh 32, 87% year-on-year menjadi Rp4, 97 triliun. Sementara itu, kredit UMKM dari perbankan hanya tumbuh 4, 3% pada periode yang sama, mencapai Rp1.379, 4 triliun. Perbedaan pertumbuhan ini menunjukkan bahwa semakin banyak UMKM yang beralih ke pinjol sebagai sumber pendanaan alternatif. Ketika, pinjol lebih banyak menyalurkan pendanaan ke UMKM, apakah Bank/non bank sebagai agen pembangunan yang mensupport pendanaan swasta (termasuk UMKM) bisa dikatakan gagal ?

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, mengakui bahwa meskipun bunga pinjol lebih tinggi, kemudahan dalam proses pengajuan menjadi faktor penentu bagi UMKM dalam memilih sumber pendanaan. Proses yang lebih sederhana dibandingkan perbankan membuat pinjol menjadi pilihan utama, meskipun dengan konsekuensi bunga yang lebih besar.

Tingginya suku bunga yang diterapkan oleh banyak platform pinjol dapat menggerus margin keuntungan UMKM secara signifikan. Biaya pinjaman yang besar ini tidak hanya mengurangi profitabilitas, tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan usaha. Dalam beberapa kasus, pelaku usaha terjebak dalam siklus utang yang sulit diputus, terutama jika pendapatan usaha tidak mampu menutupi kewajiban pembayaran pinjaman.

Sebagai gambaran, berdasarkan regulasi OJK, mulai 1 Januari 2024, bunga pinjol resmi turun dari 0, 4% per hari menjadi 0, 3% per hari untuk pinjaman di sektor konsumtif, yang jika dikonversi setara dengan sekitar 108% per tahun. Pertanyaannya, usaha apa yang bisa menghasilkan keuntungan 100% pertahun di kondisi persaingan yang ketat sekarang ini? yang ada hanya UMKM akan boncos. Ketika, pinjol lebih banyak menyalurkan pendanaan ke UMKM, apakah Bank/non bank sebagai agen pembangunan yang mensupport pendanaan bagi dunia usaha (termasuk UMKM) bisa dikatakan gagal ?

Ditambah lagi, karena rentang pembayaran cicilan yang singkat (15-30 hari) sebagian peminjam pinjol mengatasi dengan melakukan pinjaman ke pinjol-pinjol lain. karena ancaman-ancaman yang sudah 'tidak manusiawi' yang dilakukan petugas pinjol. Alhasil, terjadilah penumpukan bunga + denda yang bisa mencapai lebih dari 100% pertahun dari pokok yang pasti bisa membuat UMKM bangkrut. Semestinya, kondisi lapangan ini harus menjadi perhatian OJK dan instutusi terkait dalam mengambil kebijakan. Jika ada kredo, indonesia darurat judol ditambah lagi, Indonesia sudah darurat Pinjol!

Lebih jauh, beban finansial yang berat ini seringkali berdampak pada kesehatan mental pelaku usaha. Tekanan untuk memenuhi kewajiban pembayaran, ditambah dengan praktik penagihan yang agresif dan intimidatif, dapat menyebabkan stres, kecemasan, bahkan depresi. Beberapa kasus tragis menunjukkan bahwa individu yang terjerat utang pinjol ilegal mengalami tekanan psikologis yang berat, hingga mendorong mereka pada tindakan ekstrem. (kumparan.com)

Pemerintah menyadari permasalahan ini dan telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi masyarakat dari praktik pinjol ilegal. Melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah berupaya menertibkan pinjol ilegal dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya serta cara menghindarinya. Namun, tantangan masih besar mengingat maraknya pinjol ilegal yang terus bermunculan dengan modus operandi yang semakin canggih.

Selain itu, pemerintah mengusulkan agar masyarakat memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai alternatif pembiayaan yang lebih aman dan terjangkau. Program KUR menawarkan bunga yang lebih rendah dibandingkan pinjol, sehingga dapat menjadi solusi bagi UMKM yang membutuhkan modal tanpa harus terjerat dalam utang dengan bunga tinggi.

Namun, akses terhadap KUR masih menghadapi beberapa kendala. Prosedur dan persyaratan yang kurang fleksibel membuat beberapa pelaku UMKM kesulitan untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan. Akibatnya, mereka kembali mencari alternatif pembiayaan dari sumber yang tidak jelas legalitasnya, seperti pinjol ilegal.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa langkah strategis. Pertama, memberikan insentif kepada platform pinjol yang menyalurkan kredit dengan bunga rendah kepada sektor produktif. Insentif ini bisa berupa keringanan pajak atau dukungan dalam bentuk lain yang mendorong penurunan suku bunga.

Kedua, memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap platform pinjol untuk memastikan transparansi dalam penetapan suku bunga dan biaya lainnya. Pengawasan yang ketat akan mencegah praktik-praktik yang merugikan konsumen dan memastikan bahwa pinjol beroperasi sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Ketiga, mendorong kolaborasi antara perbankan dan fintech dalam menyediakan produk pembiayaan yang lebih fleksibel dan terjangkau bagi UMKM. Sinergi antara keduanya dapat menciptakan ekosistem pembiayaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Keempat, mengembangkan platform kredit "scoring" yang lebih akurat dan berbasis data untuk menilai kelayakan kredit UMKM. Dengan penilaian risiko yang lebih tepat, suku bunga dapat disesuaikan dengan profil risiko masing-masing peminjam, sehingga lebih adil dan kompetitif.

Kelima, menyediakan program pendampingan dan pelatihan bagi UMKM dalam manajemen keuangan dan pengelolaan utang. Dengan demikian, UMKM dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola pinjaman dan menghindari risiko gagal bayar.

Terakhir, mendorong inovasi produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan UMKM, seperti skema pembiayaan berbasis bagi hasil atau “crowdfunding”. Memahami kondisi lapangan lebih komprehensif terhadap persoalan financial UMKM pada berbagai tingkatan, tidak hanya mengambil kebijakan "diatas meja" dan terkesan konseptual. Perlu, sebuah alternatif pembiayaan, menjadi solusi bagi UMKM yang kesulitan mengakses kredit konvensional.

Ditulis oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si (Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Solok)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |