Menteri Keuangan Purbaya: Cairkan Likuiditas, Pacu Ekonomi Lewat Permintaan

2 days ago 6

JAKARTA - Di tengah geliat ekonomi yang belum sepenuhnya sesuai harapan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil langkah berani dengan membuka keran likuiditas. Kebijakan ini bukan sekadar menyuntikkan dana, melainkan sebuah strategi matang yang membutuhkan pendampingan kuat dari pemicu permintaan. Tujuannya jelas: memastikan aliran dana tidak hanya mengendap di bank, namun berdaya cipta menjadi efek domino yang membangkitkan roda ekonomi.

Menggantikan Sri Mulyani Indrawati, sosok yang identik dengan penjaga kredibilitas fiskal Indonesia selama belasan tahun, Purbaya tampil membawa nuansa rezim baru. Dalam pengakuannya di hari kedua menjabat, ia mengibaratkan gayanya seperti seorang 'koboi', yang memilih pendekatan langsung menyentuh jantung intermediasi keuangan.

Salah satu langkah terdepan adalah mengaktifkan dana kas pemerintah yang selama ini 'terparkir' di Bank Indonesia. Dana senilai Rp200 triliun dari total Rp425 triliun anggaran pemerintah tersebut akan ditempatkan ke lima bank Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara). "Kita melihat sistem keuangan ini 'kering' karena mesin-mesin ekonomi belum bekerja optimal, " ujar Purbaya dalam rapat kerja perdana di Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9).

Harapannya, pemindahan anggaran ini akan membanjiri likuiditas perbankan, menekan biaya dana (cost of funds), dan pada akhirnya memudahkan aliran kredit baru ke sektor riil. Purbaya ingin melihat 'agen-agen' ekonomi, baik di perbankan, dunia usaha, maupun pelaku usaha riil, dapat bergerak optimal sesuai fungsinya masing-masing.

Namun, Purbaya menyadari bahwa likuiditas saja tidak cukup. Ia menekankan bahwa suntikan likuiditas, yang memompa sisi moneter dan penawaran kredit, harus dibarengi dengan dorongan pada agregat permintaan. Jika permintaan masih lesu, perusahaan dan rumah tangga akan tetap enggan untuk berutang, membuat dana perbankan berpotensi mengendap.

Oleh karena itu, logistik kebijakan ini perlu diperkuat dengan pengungkit permintaan dari sektor riil. Ini bisa berupa percepatan realisasi program prioritas pemerintah dan stimulus ekonomi bagi masyarakat. Program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, dan pembangunan 3 juta rumah diharapkan dapat memberikan efek pengganda ekonomi yang nyata, seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.

Insentif bagi pekerja dan dunia usaha yang terdampak kelesuan ekonomi juga menjadi krusial untuk menggedor agregat permintaan. Di samping itu, pemerintah perlu segera mencari solusi diversifikasi ekspor agar dunia usaha memiliki jalan keluar untuk menjaga keberlangsungan bisnis di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Intinya, paket insentif permintaan harus berjalan berdampingan dengan injeksi likuiditas. Tujuannya agar sisi penawaran bertemu dengan sisi permintaan, menghasilkan manfaat ekonomi yang terukur, bukan sekadar penambahan uang beredar.

Rezim baru Purbaya ini memang disambut baik setelah bertahun-tahun fiskal cenderung konservatif. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter agar tidak menimbulkan sinyal membingungkan bagi pasar. Garis mandat antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia harus tetap tegas: fiskal mendorong intermediasi, sementara bank sentral menjaga inflasi, stabilitas rupiah, dan suku bunga pasar uang.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun memberikan dukungan dengan tetap mewanti-wanti perbankan untuk menerapkan mitigasi risiko dalam penyaluran kredit. Regulator berharap penempatan dana negara ini dapat menurunkan biaya dana perbankan dan berujung pada penurunan suku bunga kredit.

Dari parlemen, Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, turut menekankan perlunya koordinasi erat antara Kemenkeu dan BI. Ia juga menyarankan agar penempatan likuiditas tidak hanya terbatas pada Himbara, tetapi juga merambah bank swasta sehat dan diarahkan pada sektor padat karya. Pengawasan ketat terhadap realisasi penyaluran kredit menjadi kunci agar dana tersebut benar-benar masuk ke sektor produktif dan tidak berakhir menjadi 'undisbursed loan'.

Indonesia perlu belajar dari pengalaman pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19, di mana penyaluran likuiditas besar ke sistem keuangan tidak selalu berujung pada efek optimal di sektor riil. Kali ini, injeksi likuiditas harus diikat dengan stimulus sektor riil dan ketentuan eksplisit agar dana tidak diparkir di Surat Berharga Negara (SBN).

Pemerintah, bersama BI dan OJK, diharapkan segera menetapkan indikator pertumbuhan kredit sektoral yang terukur. Indikator ini akan menjadi tolok ukur keberhasilan kebijakan pelonggaran likuiditas, apakah perlu dikebut atau disesuaikan. Tanpa itu, dana yang mengendap di pasar keuangan berisiko hanya menguntungkan segelintir pihak dan menaikkan harga aset tanpa efek pengganda riil.

Kehati-hatian juga perlu diutamakan pada kualitas risiko. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu menyiapkan skenario uji ketahanan (stress test) untuk mengantisipasi potensi kegagalan penyerapan di sektor tertentu, kenaikan kredit macet (NPL), atau penimbunan likuiditas oleh bank saat volatilitas meningkat. Hasil pengujian ini akan menjadi dasar pengaturan tempo kebijakan selanjutnya.

Pada akhirnya, kejayaan gaya Purbaya tidak hanya diukur dari bombastisnya sebuah kebijakan. Penguatan sektor riil, peningkatan kapasitas produksi, kenaikan pendapatan, dan geliat transaksi perdagangan yang merata ke pasar, warung kelontong, bursa lowongan kerja, hingga lini produksi pabrik, itulah tolok ukur keberhasilan sesungguhnya yang diharapkan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. (Kabar Menteri)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |