OPINI - Di atas hamparan zamrud khatulistiwa, Indonesia berdiri megah. Negeri yang dijahit dari luka sejarah, dijaga dengan darah para pendiri bangsa, dan dihidupi oleh harapan jutaan rakyat. Namun hari ini, ketika rakyat menatap ke atas, langit keadilan tampak kelabu—tertutup awan tebal kekuasaan yang bukan lagi milik rakyat, melainkan segelintir orang yang bermain di balik tirai kekayaan dan kuasa.
Pertanyaan menggantung di udara, tajam seperti bilah keris yang siap menebas nurani:
"Apakah negeri ini masih milik rakyat? Atau telah digenggam oleh oligarki dan plutokrasi?"
Oligarki bukan sekadar teori tua dalam buku ilmu politik; ia hidup, bernafas dalam ruang kekuasaan. Ketika jabatan diwariskan seperti harta pusaka, ketika keputusan negara lahir dari meja makan segelintir elite, saat itulah rakyat hanya jadi penonton dalam panggung demokrasi yang semu. Mereka bersuara dalam bilik suara, tapi suara itu disaring, diredam, dipilihkan hasilnya.
Sementara plutokrasi—penguasa harta—berpesta di atas luka kemiskinan. Kekayaan menjadi tiket ke singgasana, bukan lagi amanah untuk menyejahterakan. Para taipan menulis undang-undang lewat tangan-tangan yang mereka biayai, lalu membungkusnya dengan kata-kata mulia: pembangunan, pertumbuhan, kemajuan. Tapi di balik itu, hutan digadai, laut dijual, tanah rakyat digusur atas nama investasi.
Indonesia yang katanya demokratis, perlahan menjelma kerajaan sunyi yang dibentuk dari kolusi modal dan kuasa. Kekuasaan tak lagi turun dari suara rakyat, melainkan dari kekuatan uang dan kedekatan.
Namun di balik semua itu, masih ada bara kecil yang menyala di dada sebagian anak bangsa. Mereka yang menolak tunduk, menolak diam. Mereka adalah suara-suara kecil dari lorong-lorong desa, dari kelas-kelas sempit sekolah, dari media yang jujur dan aktivis yang tak dibungkam.
Mereka tahu, sejarah selalu berpihak pada mereka yang tak menyerah.
Maka pertanyaan itu tetap menggema, bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi:
Negara Indonesia, dikuasai oligarki atau plutokrasi?
Atau… masihkah mungkin dikembalikan pada cita-cita awalnya—negara untuk semua, bukan hanya untuk yang berkuasa?
Karena sesungguhnya, negeri ini bukan warisan kekuasaan. Ia adalah titipan peradaban.
Mesuji_Kedai Cofee 30 Juni 2025
Komarudin
Aktivis/Jurnalis Nasional Indonesia