JAKARTA - Indonesia, negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, ternyata belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi pasar modalnya. Pandu Patria Sjahrir, Chief Investment Officer (CIO) Danantara Indonesia, mengungkapkan bahwa rata-rata nilai transaksi harian pasar modal Tanah Air seharusnya bisa menembus angka 8 miliar dolar AS, atau setara Rp132, 64 triliun (dengan kurs Rp16.580 per dolar AS). Namun, realitasnya masih jauh dari angka tersebut.
“(Rata-rata nilai transaksi harian) kita (Indonesia) seharusnya 8 miliar dolar AS per hari, mengingat kita sebagai negara terbesar di ASEAN, ” ujar Pandu di Jakarta, Rabu (15/10/2026). Ia menambahkan, saat ini, rata-rata nilai transaksi harian Bursa Efek Indonesia (BEI) baru menyentuh angka sekitar 1 miliar dolar AS (Rp16, 58 triliun).
Perbandingan dengan negara lain semakin memperjelas kesenjangan ini. Pandu mencontohkan India, yang berhasil mencatatkan nilai transaksi harian mencapai 12-15 miliar dolar AS (Rp198, 96-Rp248, 7 triliun). Hong Kong bahkan jauh melampaui, dengan nilai transaksi harian yang bisa mencapai 30-50 miliar dolar AS (Rp497-829 triliun).
Mengapa potensi sebesar ini belum tergarap maksimal? Pandu menyoroti dua faktor utama: kedalaman pasar yang terbatas dan minimnya minat investor publik. “Masalah utama bagi venture capital dan investasi jangka panjang adalah kurangnya pasar publik yang kuat, ” tegasnya.
Untuk mengatasi hal ini, Pandu menekankan perlunya penguatan infrastruktur pasar keuangan agar Indonesia menjadi destinasi investasi yang lebih menarik. Langkah-langkah strategis seperti peningkatan jumlah emiten, gencar melakukan edukasi kepada investor, serta memastikan transparansi dalam tata kelola perusahaan menjadi kunci utama. Ia percaya, dengan penguatan regulasi dan partisipasi investor yang lebih luas, aktivitas pasar modal domestik dapat berlipat ganda dalam beberapa tahun mendatang.
Di luar faktor domestik, Pandu juga menyinggung pentingnya stabilitas geopolitik global dan kerja sama regional dalam menarik investasi. “Kita harus memahami risiko global, dari deglobalisasi hingga nasionalisasi. Karena itu, kemitraan dan kebijakan yang adaptif menjadi kunci, ” pungkasnya. (PERS)