SUNGAI PENUH, JAMBI – Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) tahap I tahun anggaran 2025 di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh kembali menuai sorotan. Alih-alih membawa manfaat bagi petani, proyek ini justru memunculkan kecurigaan publik lantaran pelaksanaannya dinilai serampangan.
Salah satu titik yang dipersoalkan berada di Desa Koto Padang, Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh. Proyek swakelola senilai Rp195.000.000 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini semestinya dikelola oleh kelompok masyarakat/lembaga penerima manfaat atau biasa disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di bawah koordinasi Balai Wilayah Sungai Sumatera VI (BWSS VI). Namun, di lapangan, pekerjaan justru diduga kuat dikerjakan asal jadi tanpa memperhatikan standar teknis maupun mutu.
Pantauan di lapangan menemukan proyek dikerjakan tanpa papan informasi. Padahal, aturan Kementerian PUPR mewajibkan setiap kegiatan yang dibiayai anggaran negara memasang papan nama proyek. Hilangnya identitas kegiatan menimbulkan dugaan kuat adanya upaya menutupi siapa pelaksana, berapa nilai anggaran, dan sumber pendanaan.
“Proyek ini seperti dikerjakan sembunyi-sembunyi. Tidak ada keterbukaan, dan kualitasnya sangat meragukan, ” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Data yang didapat, pekerjaan diduga kuat tidak sesuai spesifikasi teknis. Material yang digunakan dinilai tidak berkualitas, pengerjaan pun tampak asal tempel. Kondisi ini memicu dugaan penyimpangan serius, terlebih proyek irigasi seharusnya berfungsi langsung mendukung produktivitas petani.
Lemahnya pengawasan disebut - sebut sebagai pemicu. BWSS VI sebagai penanggung jawab program dan Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) dinilai gagal menjalankan fungsi kontrol. Alih-alih transparan, program yang menelan anggaran besar ini justru menimbulkan kekecewaan dan potensi kerugian negara.
Informasi yang dihimpun, BWSS VI mengelola dana lebih dari Rp72 miliar untuk program P3-TGAI di delapan kabupaten/kota pada 2025, termasuk di Kota Sungai Penuh. Ironisnya, dengan anggaran jumbo itu, hasil pekerjaan di Koto Padang yang nilainya hampir Rp200 juta justru dinilai buruk dan memicu kecurigaan publik akan praktik penyimpangan.
Kondisi ini memantik desakan agar aparat penegak hukum, inspektorat, hingga pemerintah daerah segera turun tangan melakukan audit investigatif. Masyarakat khawatir, tanpa langkah tegas, P3-TGAI yang sejatinya untuk meningkatkan kesejahteraan petani justru berubah menjadi ladang bancakan anggaran negara.
Hingga berita ini diturunkan, Indonesiasatu.co.id belum memperoleh keterangan resmi dari BWSS VI maupun Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM). (son)