MALANG - Di tengah kerasnya kehidupan, Oktavianti Riska Fitriasari, seorang yatim piatu yang telah menghafal enam juz Al Quran, kini menemukan mercusuar harapan di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22 Kota Malang, Jawa Timur. Kehidupan yang dulunya hanya mampu makan sekali sehari, kini berubah drastis menjadi tiga kali sehari, lengkap dengan kesempatan rutin mengaji dan menghafal Al Quran usai Magrib.
Kehilangan kedua orang tua sejak SMP, Okta, sapaan akrabnya, tak gentar memikul tanggung jawab keluarga. Bersama nenek dan pamannya, ia berjuang menafkahi dua adiknya yang masih kecil. Penghasilan neneknya sebagai pemulung yang tak menentu dan pendapatan pamannya yang hanya sebagai "polisi cepek" membuat mereka kerap hidup dalam kekurangan.
Sejak SMP, Okta tak tinggal diam. Ia bekerja serabutan demi membantu ekonomi keluarga, mulai dari berjualan makanan, menjaga toko baju, hingga menjajakan jus buah. Cobaan hidup kembali menerpa pada 2024 lalu ketika rumah mereka di Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, ludes terbakar akibat ledakan gas elpiji. Kini, keluarga Okta harus tinggal di rumah kontrakan sambil berusaha membangun kembali rumah mereka seadanya.
Di tengah segala keterbatasan, semangat Okta untuk terus menghafal Al Quran tak pernah padam. Saat kerinduan pada orang tua melanda atau usai menunaikan salat, ia membuka mushaf dan melafalkan ayat demi ayat, menenangkan hatinya.
"Kalau habis magrib ngaji (Al Quran) itu dihafalkan, " jelas Okta.
Titik terang muncul ketika Okta berhasil diterima di SRMA 22 Kota Malang. Di sekolah ini, ia kembali menemukan semangatnya. Aktif dalam berbagai kegiatan, disiplin belajar, dan menjalin pertemanan baru, Okta memelihara mimpi besarnya untuk menjadi seorang guru agama.
"Di pesantren, para guru mengajarkan kitab-kitab kepada santrinya. Dari situlah muncul keinginan kuat untuk menjadi guru ngaji, " tuturnya.
Lebih dari itu, Okta juga memiliki harapan tulus untuk melihat neneknya hidup lebih tenang, terbebas dari beban hidup yang berat.
"Harapan saya bisa sukses, biar nenek enggak susah lagi, biar bisa rawat adik-adik, " ucapnya.
Kisah Okta adalah bukti nyata keteguhan seorang anak dari keluarga miskin yang menolak menyerah pada keadaan. Kehilangan orang tua, musibah kebakaran, hingga harus bekerja sejak usia belia, tak mampu mematahkan semangatnya. Justru dari cobaan itulah ia belajar arti keteguhan. Sekolah Rakyat menjadi wadah baginya untuk kembali meraih mimpi.
Ia tidak sendiri. Sebanyak 75 siswa di SRMA 22 Malang lainnya juga menapaki jalan serupa, berbekal asa yang terus tumbuh. Didukung oleh 17 guru dan 3 tenaga pendidik, serta fasilitas memadai seperti sarana olahraga, laboratorium, dan perpustakaan, anak-anak dari keluarga miskin ini mendapatkan peluang emas untuk meraih cita-cita dan memutus rantai kemiskinan.
Program Sekolah Rakyat yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo menargetkan pembukaan 165 titik pada tahun 2025, dengan kapasitas menampung 15.895 siswa dari keluarga miskin. Ini adalah upaya besar agar anak-anak seperti Okta tidak lagi terhalang langkahnya hanya karena keterbatasan ekonomi.
Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar, melainkan rumah yang menumbuhkan mimpi. Bersama Okta dan ribuan anak lainnya, harapan itu kini bertumbuh, didasari keyakinan bahwa pendidikan berkualitas adalah senjata ampuh untuk mengalahkan kemiskinan. (Warta Sekolah)