OPINI - Belakangan ini publik kembali dikejutkan oleh viralnya isu keterlibatan mantan Bupati Mesuji, Khamami, dalam urusan pemerintahan daerah. Kabar ini tak hanya menyebar di media sosial, tapi juga memantik diskusi hangat di ruang-ruang publik. Pertanyaannya: mengapa seorang mantan kepala daerah yang tengah menjalani masa lalu kontroversial kembali mencuat dan disebut-sebut ikut mengatur jalannya roda pemerintahan?
Fenomena ini mencerminkan situasi yang dalam teori pemerintahan disebut sebagai ambigu kekuasaan—ketika batas antara wewenang formal dan pengaruh informal menjadi kabur. Ketika individu yang tidak lagi memiliki posisi struktural ikut cawe-cawe dalam pengambilan keputusan strategis, maka yang lahir bukan kepastian, melainkan kebingungan. Dalam sistem demokrasi, ini jelas berbahaya.
Pemerintahan seharusnya menjadi ruang yang tertib secara hukum dan akuntabel secara politik. Namun ketika berbagai pihak—baik individu, kelompok politik, maupun kepentingan ekonomi—bercampur tangan tanpa garis batas yang jelas, maka yang muncul adalah konflik kepentingan, tarik-menarik pengaruh, dan kaburnya tanggung jawab.
Dalam konteks Mesuji, campur tangan Khamami bisa dimaknai sebagai bentuk perampasan ruang otoritas Bupati aktif. Hal ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada Pasal 67 ayat (1) menegaskan bahwa bupati bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jika kewenangan itu ternyata tidak dijalankan secara mandiri karena tekanan atau pengaruh pihak lain, maka legitimasi kepemimpinan patut dipertanyakan.
Lebih dari itu, keterlibatan pihak eksternal dalam pengambilan keputusan publik dapat merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat berhak mengetahui siapa yang memegang kendali pemerintahan, siapa yang membuat keputusan, dan apa motivasinya. Jika tidak jelas siapa pengendali sebenarnya, maka publik kehilangan pegangan untuk menuntut pertanggungjawaban.
Situasi ini ibarat kabut tebal yang menyelimuti arah kebijakan. Pemerintahan daerah menjadi sulit bermanuver karena tersandera oleh tarik ulur kepentingan dan bayang-bayang masa lalu. Keputusan yang seharusnya dibuat demi kepentingan publik justru berpotensi digeser demi kepentingan politik personal atau kelompok tertentu.
Perlu digarisbawahi bahwa keterlibatan tokoh atau mantan pejabat dalam urusan daerah bukan masalah selama mereka berperan sebagai penasihat nonformal tanpa intervensi langsung. Namun jika keterlibatan itu melampaui batas dan memengaruhi roda pemerintahan, maka perlu ada investigasi mendalam. Apakah Bupati benar-benar menjalankan perannya? Apakah ada mekanisme pengambilan kebijakan yang dilanggar?
Publik menanti kejelasan, bukan drama politik. Pemerintahan Mesuji harus tampil sebagai lembaga yang sah, bersih, dan bertanggung jawab. Bila perlu, lembaga pengawasan seperti DPRD dan Inspektorat Daerah turun tangan untuk menelisik sejauh mana pengaruh Khamami beroperasi di balik layar.
Dalam demokrasi, kekuasaan bukan soal siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang sah. Dan dalam negara hukum, wewenang bukan diberikan berdasarkan pengaruh, melainkan legitimasi yang diatur konstitusi.
Mesuji, 24 Juni 2025
Zaenudin
Ketua PETANESIA Mesuji