Bersama Kesulitan ada Kemudahan

3 hours ago 1

INSPIRATIF -   Hujan turun deras malam itu. Lampu kota Jakarta memantul di genangan air, seperti ribuan serpih cahaya yang berusaha hidup di tengah gelap. Di sudut kamar kos ukuran tiga kali empat, Rafi duduk menatap langit-langit. Di tangan kanannya, sebatang rokok tinggal setengah, sementara di layar ponsel, notifikasi tagihan dan pesan pinjaman online menumpuk seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Ia dulu bekerja di sebuah agensi digital. Hidupnya cepat, sibuk, penuh jadwal rapat dan ambisi. Tapi pandemi datang, kantor tutup, proyek berhenti, dan perlahan kehidupannya terjun bebas. Kini, motor kesayangan sudah dijual, tabungan habis, dan satu per satu teman menjauh.

“Semua orang sibuk dengan hidupnya sendiri, ” pikir Rafi, getir.

Malam itu, ia merasa benar-benar sendiri.

Ia menatap langit di luar jendela yang retak, lalu berbisik lirih, “Tuhan, aku capek. Kalau Engkau memang ada… kenapa semuanya terasa begini?”

Tak ada jawaban. Hanya suara hujan, menimpa atap seng tipis di atas kepala.

Beberapa menit kemudian, entah karena gelisah atau sekadar iseng, Rafi membuka YouTube. Algoritma entah bagaimana menampilkan video pendek berjudul “Cahaya dari Surat Ad-Duha.” Suara lembut qari membaca:

“Demi waktu dhuha dan malam apabila telah sunyi.. "

" Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.”

Rafi terdiam. Ada sesuatu di dada yang bergetar. Ia ulang lagi videonya. Kali ini, matanya panas. “Tuhanmu tidak meninggalkanmu…”

— kalimat itu seperti menampar tapi juga memeluk.

Ia mematikan rokoknya. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia menunduk, menutup wajah, dan menangis.

Keesokan harinya, Rafi keluar rumah lebih pagi. Ia duduk di halte menunggu bus kota, tanpa tujuan jelas. Langit pagi masih lembut, cahaya matahari menembus tipis kabut sisa hujan semalam. Ia teringat kalimat di surat itu: “Demi waktu dhuha…” — waktu pagi yang cerah, waktu optimisme, waktu hidup dimulai.

Di bawah sinar matahari itulah, Rafi mulai berpikir ulang.

Mungkin selama ini yang hilang bukan rezeki, tapi rasa syukur.

Mungkin bukan Tuhan yang menjauh, tapi dirinya yang terlalu sibuk mencari jawaban di tempat yang salah.

Ia membuka ponsel, menelusuri tafsir surat itu. Ada ayat lain yang menenangkan:

“Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.”

Entah kenapa, kalimat itu menyalakan nyala kecil di hatinya.

Ia ingat masa kecil — saat ibunya menuntunnya ke surau, mengajarinya membaca iqra dengan suara lembut. Waktu itu hidup sederhana, tapi tenang. Kini, setelah semua kemewahan semu pergi, mungkin Tuhan sedang mengantarnya kembali ke titik awal: untuk belajar berserah.

Hari-hari berikutnya, Rafi mulai mencoba berdamai. Ia menerima tawaran menjadi editor lepas untuk sebuah kanal dakwah digital — kecil bayarannya, tapi cukup untuk bertahan. Ia kembali ke masjid selepas Magrib, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan.

Suatu malam, ustaz yang mengisi pengajian membaca Surat Al-Insyirah.

“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?”

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Kata-kata itu seolah berbicara langsung kepadanya. Ia sadar, kelapangan bukan datang karena masalah hilang, tapi karena hati mengizinkan diri untuk menerima.

Malam itu, Rafi pulang dengan dada yang terasa ringan.

Langit di atasnya tampak lebih luas, angin lebih hangat, dan dunia tak seburuk yang dulu ia bayangkan.

Beberapa bulan kemudian, hidupnya perlahan berubah. Ia membuat konten dakwah pendek dari potongan ayat dan kisah inspiratif. Videonya pelan-pelan viral — bukan karena efek sinematik atau musik dramatis, tapi karena ketulusan kata. Dalam setiap narasi, ada pantulan kisah dirinya sendiri.

Suatu hari, seorang anak muda mengirim pesan:

“Bang, aku sempat ingin bunuh diri. Tapi aku nonton video abang tentang Surat Ad-Duha. Sekarang aku masih di sini, mencoba hidup lagi. Terima kasih.”

Rafi menatap pesan itu lama. Air matanya jatuh, bukan karena sedih, tapi karena haru. Ia tersenyum tipis dan berbisik, “Tuhan memang tak pernah meninggalkan siapa pun.”

Malam kembali datang. Tapi kali ini, gelap terasa bersahabat. Rafi menatap langit-langit kamar kos yang sama — tapi hatinya sudah berbeda. Ia membuka mushaf kecil di samping bantalnya, membaca pelan:

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Dan di bawah cahaya redup lampu kamar, ia tahu — hidupnya mungkin belum mudah, tapi hatinya sudah terang.

Cahaya itu datang dari dua surat yang menuntunnya pulang: Ad-Duha dan Al-Insyirah. (Indra Gusnady)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |