JAKARTA - Tekad Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit Kementerian Pertahanan semakin bulat. Kali ini, Gabor Kuti, Chief Executive Officer (CEO) dari perusahaan Hungaria, Navayo International AG, resmi ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).
Penetapan status DPO ini, seperti dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, pada Senin (22/9/2025), menjadi langkah tegas setelah Kuti berulang kali mangkir dari panggilan penyidik. Tiga kali panggilan patut dilayangkan, namun tak satu pun diindahkan oleh Kuti. Bahkan, ia juga telah dipanggil dua kali dalam kapasitasnya sebagai tersangka, namun tetap tidak pernah hadir.
“Benar sudah dinyatakan DPO, ” ujar Anang Supriatna.
Kasus yang menjerat Gabor Kuti ini berpusat pada dugaan korupsi dalam proyek pengadaan user terminal untuk satelit di orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan yang terjadi pada tahun 2016. Pihak Kejagung sendiri telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri mengingat status Kuti sebagai warga negara asing asal Hungaria.
Perkara ini ditangani langsung oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil). Hingga kini, total tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain Gabor Kuti, dua tersangka lainnya adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta Anthony Thomas Van Der Hayden, yang berperan sebagai perantara.
Kronologi kasus ini mulai terkuak ketika pada 1 Juli 2016, Leonardi menandatangani kontrak perjanjian pengadaan user terminal dan peralatan terkait senilai lebih dari 34 juta dollar AS, yang kemudian direvisi menjadi 29, 9 juta dollar AS. Penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga diduga kuat tidak melalui proses pengadaan barang dan jasa yang semestinya, melainkan atas rekomendasi Van Der Hayden, yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Satelit Kemenhan RI. Sungguh ironis, bukan?
Setelah kontrak disepakati, pihak Navayo mengklaim telah menjalankan kewajibannya dengan mengirimkan barang ke Kemenhan. Atas dasar klaim tersebut, Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri, dengan persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, menerbitkan empat Surat Certificate of Performance (CoP) atau Sertifikat Kinerja. Yang lebih mengejutkan, sertifikat ini ternyata disiapkan oleh Van Der Hayden. Sampai CoP diterbitkan, tidak ada verifikasi mendalam mengenai kebenaran pengiriman barang oleh Navayo. Sebuah kelalaian yang sungguh merugikan negara.
Menyusul terbitnya CoP, Navayo pun mengajukan empat invoice penagihan pembayaran. Namun, pembayaran ini terhenti karena pada periode hingga 2019, Kemenhan tidak memiliki anggaran untuk pengadaan satelit. Tak berhenti di situ, Navayo kemudian menggugat Kemenhan melalui International Criminal Court (ICC) Singapura, menuntut pembayaran sebesar 23, 4 juta dollar AS. Dalam putusan akhirnya, pemerintah Indonesia dinyatakan kalah dan dihukum untuk membayar 16 juta dollar AS. Sebuah kerugian yang patut kita sesalkan bersama. (PERS)