DENPASAR - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali kini tengah menyoroti temuan mengejutkan mengenai keberadaan pabrik manufaktur yang beroperasi di kawasan lahan konservasi, bahkan berdekatan langsung dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Langkah ini diambil setelah adanya laporan yang menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kelestarian lingkungan pulau dewata.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang Aset dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, Made Suparta, pada Selasa (23/09/2025) di Denpasar, memimpin rapat koordinasi yang mengumpulkan berbagai pihak terkait. Tujuannya jelas: mengumpulkan data dan fakta dari instansi seperti Tahura Ngurah Rai, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bali. Salah satu temuan krusial adalah perusahaan bernama EcoCrete yang rupanya bersembunyi di balik jalan kapur Bypass Ngurah Rai.
"Harus didalami lagi karena itu memang kawasan konservasi, kawasan hutan lindung, tumbuh mangrove-mangrove, " tegas Made Suparta, menunjukkan keprihatinan mendalam atas potensi kerusakan ekosistem.
Informasi yang dihimpun dari Satpol PP Bali membeberkan bahwa perusahaan manufaktur tersebut merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) asal Rusia. Perusahaan ini dimiliki oleh tujuh warga negara asing (WNA) dan satu warga negara Indonesia (WNI), yang beroperasi di atas lahan seluas 1, 4 hektare.
Lebih lanjut, Pansus TRAP DPRD Bali mengungkap bahwa lahan yang digunakan oleh EcoCrete disewa dari empat warga lokal yang memiliki sertifikat hak milik, dengan kontrak sewa selama 20 tahun. Made Suparta menyatakan kekecewaannya terhadap BPN Bali yang dinilainya kecolongan. Pasalnya, lahan tersebut ternyata tumpang tindih dengan area Taman Hutan Raya (Tahura), yang seharusnya steril dari segala bentuk pembangunan.
"Itu wilayah konservasi selanjutnya supaya dipastikan jangan dulu diterbitkan sertifikatnya, lakukan kajian yang dalam apakah ini wilayah boleh disertifikatkan atau tidak karena dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 pasal 35 dan pasal 73 mengatur sanksi dan tidak boleh ada kegiatan tapi BPN tidak bisa menjelaskan, " ujar Made Suparta, menggarisbawahi adanya celah hukum yang disalahgunakan.
Ia menambahkan, jika sertifikat izin usaha perusahaan tersebut diterbitkan, hal ini justru akan membuka pintu bagi pengusaha lain untuk melakukan aktivitas serupa di atas lahan mangrove yang dilindungi.
Selain isu lahan konservasi, penelusuran ini juga berawal dari investigasi terkait banjir di sekitar aliran sungai yang berdekatan dengan lokasi pabrik. "Kalau ditoleransikan akan banyak pembangunan disana dan akan menutup jalur air dari hulu ke hilir, kan sudah jelas evaluasi pinggiran sungai itu regulasinya 3-5 meter tapi hampir seluruh pinggir sungai orang bangun, " keluh anggota Komisi I DPRD Bali itu, menggambarkan betapa seriusnya pelanggaran tata ruang yang terjadi.
Menghadapi kompleksitas persoalan lahan ini, DPRD Bali mengambil langkah tegas dengan meminta bantuan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Tujuannya adalah untuk menelusuri keabsahan sertifikat-sertifikat tanah, terutama setelah ditemukannya indikasi 106 sertifikat tanah perorangan di wilayah selatan Denpasar dan Badung yang tumpang tindih dengan lahan Tahura.
"Kejaksaan akan melakukan proses penyelidikan penerbitan sertifikat itu, hasil pendalamannya yang nanti akan disampaikan ke pansus kita bagi tugas, urusan tata ruang kita beresi urusan perizinan juga, kita tidak anti investasi, kita terbuka tetapi taat hukum sesuai aturan, " pungkas Made Suparta, menegaskan komitmen dewan untuk menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku demi kelestarian Bali. (PERS)