Ketua PGRI Jawa Tengah Menangapi Keputusan MK Mengenai Kesiapan Anggaran dan Peran Sekolah Swasta 

2 days ago 9

BATANG, - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan kewajiban negara memberikan pendidikan SD dan SMP tanpa dipungut biaya alias gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta menjadi sinyal kuat bahwa akses pendidikan bukan lagi sekadar janji, melainkan hak yang harus dijamin.

Namun di balik semangat itu, berbagai tantangan juga muncul, terutama soal kesiapan anggaran dan peran sekolah swasta.

Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus anggota DPD RI, Dr. Muhdi, S.H., M.Hum, menanggapi putusan MK tersebut dengan nada optimistis, namun realistis.

Ia menegaskan bahwa keputusan MK adalah final, dan sebagai konsekuensinya, negara harus benar-benar hadir untuk mewujudkan akses pendidikan gratis yang berkualitas.

“Kalau sudah menjadi keputusan final, negara harus hadir untuk memberikan kemudahan biaya pendidikan. Apapun tantangannya, harus dijalankan, ” tegas Muhdi saat ditemui usai kegiatan Konferensi kerja I PGRI Kabupaten Batang di Gedung Guru, Kamis 19 Juni 2025.

Muhdi tidak memungkiri, implementasi pendidikan gratis akan menghadapi tantangan besar, terutama dari sisi anggaran. Menurutnya, meski amanat konstitusi mewajibkan alokasi 20?ri APBN untuk pendidikan, realisasinya masih tersebar ke banyak pos.

“Sebenarnya 20 persen itu cukup, tapi persoalannya alokasinya ke mana-mana. Maka ini perlu rekonstruksi ulang. Salah satunya agar bisa membiayai pendidikan anak-anak, termasuk di sekolah swasta, ” jelasnya.

Muhdi menekankan pentingnya keberpihakan pada sekolah swasta yang memenuhi standar minimum dan melayani anak-anak dari keluarga tidak mampu.

Ia bahkan mengusulkan pendekatan berbasis busing theory, yaitu ketika daya tampung sekolah negeri tidak mencukupi, maka negara bisa membiayai siswa miskin untuk bersekolah di swasta.

“Kalau implementasi teorinya busing, ya bisa saja. Saat daya tampung sekolah negeri gak cukup, masih ada anak miskin belum tertampung, maka sekolah swasta bisa dibiayai negara. Itu juga bagian dari pendidikan gratis, ” ujarnya.

Namun, Muhdi juga mewanti-wanti bahwa tidak semua sekolah bisa serta-merta menerima dana bantuan. Perlu syarat dan ketentuan yang adil. Misalnya, sekolah swasta dengan standar di atas rata-rata tidak bisa disamakan dengan sekolah yang berstandar minimal.

“Kalau pemerintah memberi Rp300 ribu per anak misalnya, sementara sekolahnya punya biaya operasional di atas satu juta, tentu mereka keberatan. Tapi MK juga memberi ruang. Kalau sekolah itu punya kurikulum lebih dan orang tua tidak keberatan, maka dimungkinkan tetap ada iuran, ” papar Muhdi.

Saat ini, PGRI sedang aktif berdiskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari DPR, Kementerian Pendidikan, hingga Kementerian Agama, untuk mencari formula terbaik dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Harapannya, RUU ini bisa menjadi payung hukum yang mengintegrasikan seluruh sistem pendidikan di Indonesia.

“RUU Sisdiknas ke depan akan menarik Undang-Undang Guru, Pendidikan Tinggi, bahkan Pesantren. Harus ada satu sistem pendidikan Indonesia yang menyeluruh, apakah di bawah Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, atau lainnya, ” pungkas Muhdi.

Ia menutup pernyataannya dengan refleksi sederhana namun bermakna.

“Kalau ditanya mampu atau tidak, ya mampu. Tapi seperti dalam keluarga, tinggal kita mau memprioritaskan yang mana. Karena ini sudah keputusan final, maka pemerintah harus segera ambil langkah nyata.”

Paman Adam 

Read Entire Article
Karya | Politics | | |