PAPUA - Situasi politik di Papua kembali diwarnai ketegangan setelah aparat keamanan berhasil menangkap lima orang yang diduga terlibat dalam aktivitas Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Bukannya melakukan evaluasi, NFRPB justru melontarkan tuduhan keras kepada kelompok sipil Solidaritas Rakyat Papua (SRP) dan menjadikannya sebagai kambing hitam atas penangkapan tersebut.
Peristiwa ini menambah daftar panjang konflik internal antar kelompok di Papua. Dalam pernyataannya, NFRPB menuding SRP telah memberikan informasi kepada aparat sehingga penangkapan dapat dilakukan dengan cepat. Tuduhan itu bahkan berujung pada langkah NFRPB yang melaporkan lima anggota SRP ke aparat keamanan, yakni Dominggus Wafom, Musa Susim, Elisa Bisulu, Dedi Goram, dan Yance Manggaprouw.
Namun, sejumlah pengamat menilai tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Sebaliknya, langkah NFRPB itu dianggap sebagai bentuk kepanikan sekaligus upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari lemahnya konsolidasi internal organisasi tersebut.
Tokoh masyarakat dari Paniai, Marthen Nawipa, menilai sikap NFRPB hanya memperlihatkan wajah aslinya sebagai kelompok yang tidak mampu mengelola perbedaan dan masalah internal.
“Selama ini, NFRPB berusaha mengklaim dirinya sebagai wadah perjuangan, tetapi faktanya mereka selalu saling menyalahkan ketika terjadi masalah. Menuding SRP hanyalah cara untuk menutupi kelemahan organisasi mereka sendiri, ” ujar Marthen, Senin (1/9/2025).
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran baru, terutama karena SRP selama ini dikenal luas sebagai kelompok sipil yang fokus pada isu kemanusiaan, advokasi, dan perlindungan hak-hak masyarakat Papua. Keterlibatan nama mereka dalam konflik politik yang sarat intrik dinilai bisa memperkeruh keadaan, bahkan menimbulkan potensi ketegangan horizontal di masyarakat.
Tokoh pemuda Papua, Yosias Gobay, menyayangkan sikap NFRPB yang kerap menyalahkan pihak lain tanpa bukti jelas.
“Solidaritas Rakyat Papua selama ini fokus pada kegiatan advokasi masyarakat. Jika mereka dijadikan kambing hitam, ini bisa menimbulkan ketegangan horizontal yang tidak perlu, ” tegas Yosias.
Fenomena saling tuding antar kelompok ini semakin memperlihatkan betapa rapuhnya solidaritas di antara gerakan-gerakan yang mengatasnamakan perjuangan Papua. Alih-alih memperkuat persatuan, dinamika tersebut justru melemahkan kepercayaan publik terhadap klaim perjuangan mereka.
Masyarakat Papua berharap agar energi sosial dan politik tidak terus habis dalam konflik internal yang berujung pada saling menyalahkan. Yang lebih mendesak adalah mengarahkan perhatian untuk membangun kesejahteraan, pendidikan, serta layanan kesehatan masyarakat hal-hal yang jauh lebih dibutuhkan warga Papua ketimbang pertikaian politik yang tidak berkesudahan.
(APK/ Jurnalis.id )