Muhammadiyah: Kuasai Dunia Digital, Hukumnya Wajib!

2 months ago 24

YOGYAKARTA - Di era serba digital ini, dunia maya bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan arena kehidupan yang sama pentingnya dengan dunia nyata. Fenomena ini tak luput dari perhatian Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Mereka melihat penguasaan dunia digital sebagai sebuah keniscayaan, bahkan sebuah kewajiban bagi umat Islam.

Dalam Pengajian Tarjih daring yang digelar pada Rabu (16/07), Bekti Hendrie Anto, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengupas tuntas urgensi penguasaan dunia digital, termasuk aspek monetisasinya. Beliau menekankan bahwa di era modern ini, umat Islam tidak bisa lagi berpangku tangan.

Bekti Hendrie Anto mengutip sebuah kaidah fikih yang berbunyi, “Mala yatimal wajibu illa bihi wahua wajib” yang berarti “sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi wajib.”

“Jika merealisasikan ajaran agama adalah kewajiban, dan penguasaan dunia digital merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan tersebut, maka menguasai dunia digital pun menjadi sebuah kewajiban, ” jelasnya.

Lebih dari sekadar medium peradaban, dunia digital juga menawarkan ladang ekonomi yang subur melalui monetisasi. Monetisasi, sederhananya, adalah mengubah sesuatu yang awalnya tak bernilai uang menjadi sumber penghasilan di dunia digital.

Platform-platform raksasa seperti YouTube dan TikTok adalah bukti nyata. YouTube, dengan miliaran penggunanya, mencatatkan pendapatan iklan global yang fantastis. TikTok pun tak kalah menggiurkan. Bahkan, konten kreator lokal di Indonesia bisa meraup rupiah per seribu tayangan.

“Bahkan, konten kreator lokal di Indonesia bisa meraup Rp10.000 hingga Rp50.000 per seribu tayangan (views), ” tutur Bekti.

Monetisasi ini bisa dilakukan melalui berbagai cara. Di YouTube, ada AdSense, Super Chat, membership, dan YouTube Shopping. Sementara di TikTok, ada TikTok Pools, Creator Reward, Live GI, dan Affiliate Marketing.

Namun, Bekti Hendrie Anto mengingatkan, monetisasi adalah sebuah pilihan. Konten digital bisa dimanfaatkan untuk dakwah, edukasi, atau menyebarkan nilai-nilai kebaikan tanpa harus mengejar keuntungan finansial.

Lantas, bagaimana hukum monetisasi dalam Islam? Bekti mengajak untuk tidak hanya melihat dari kacamata halal-haram, tetapi juga mempertimbangkan aspek maslahah (kebaikan) dan maqasid syariah (tujuan syariat Islam).

Sebagai panduan, ia merujuk pada Pedoman Etika Bisnis Muhammadiyah yang tertuang dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih (HPT) Jilid III.

Menurut Bekti, ada tiga aspek utama yang perlu diperhatikan dalam meninjau monetisasi konten digital:

Pertama, niat yang benar dan lurus. Konten harus bertujuan untuk ibadah dan menyebarkan kebaikan, bukan hanya mencari viralitas atau uang. Niat ini harus dijaga sepanjang proses pembuatan hingga penyebaran konten.

Kedua, monetisasi harus dilakukan secara halalan thayiban. Konten tidak boleh melanggar larangan syariat. Ini mencakup larangan promosi gharar (ketidakjelasan), jahalah (ketidaktahuan), maisir (judi), kezaliman, riba, darar (bahaya), kecurangan, atau penipuan. Hindari konten yang mengumbar privasi, menyajikan hiburan kosong, atau mempromosikan hal haram seperti judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol).

Ketiga, konten dan monetisasi harus membawa dampak positif yang lebih dari sekadar keuntungan materi. Idealnya, aktivitas digital harus menghasilkan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat, serta memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.

“Apa hasil sebenarnya? Apakah hanya uang, ataukah menciptakan manfaat yang lebih besar? Siapa yang menerima manfaat atau kerugian itu? Dan seberapa besar manfaat atau kerugian tersebut?” tanya Bekti.

Bekti menjelaskan bahwa akad dalam dunia digital seringkali tidak secara eksplisit menggunakan akad syariah karena penyedia platform bukanlah perusahaan berbasis syariah. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman fikih, bahkan penerapan fikih prioritas atau fikih darurat dalam kondisi tertentu.

Ia mengutip kaidah fikih yang sering digunakan, “Al-ashlu fi al-asyai al-ibahah hatta yadullu dalilun tahrimi” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya).

Kaidah ini memberikan fleksibilitas, namun Bekti mengingatkan agar tidak menyepelekan kehati-hatian. Konten kreator harus mampu mengidentifikasi celah-celah atau titik-titik kritis keharaman dalam iklan atau mekanisme monetisasi.

Bekti Hendrie Anto juga membahas kaidah-kaidah fikih relevan dalam menimbang manfaat dan kerugian.

Bekti menyimpulkan, monetisasi konten digital bisa menjadi sumber rezeki halal dan ladang amal jika dilandasi niat yang lurus, proses yang etis, dan orientasi pada kemaslahatan umat. Jika tidak memungkinkan menjaga diri dari hal-hal yang haram, opsi paling aman adalah tidak melakukan monetisasi sama sekali. (Muh.or.id)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |