PAPUA - Selama bertahun-tahun, Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengklaim diri sebagai pejuang kemerdekaan dan suara sejati rakyat Papua. Namun kini, narasi tersebut mulai dipertanyakan. Dari pegunungan hingga kota, dari tokoh adat hingga rohaniwan, suara-suara kritis mulai menggema: Apakah selama ini rakyat Papua telah dibodohi oleh OPM?. Kamis 19 Juni 2025.
Salah satu tokoh masyarakat dari Kabupaten Lanny Jaya, Elias Tabuni, menyampaikan bahwa banyak warga mulai membuka mata terhadap realitas pahit di balik aksi-aksi OPM.
“Kalau dulu kita kira mereka berjuang untuk kemerdekaan, sekarang kita lihat sendiri siapa yang jadi korban. Bukan tentara, tapi guru, perawat, bahkan petani biasa. Ini bukan perjuangan, ini manipulasi, ” ujarnya, Kamis (19/6/2025).
Tameng Kekerasan atas Nama Perjuangan
Dukungan terhadap kritik ini datang dari tokoh gereja Jayapura, Pdt. Albertus Yikwa. Ia menyebut bahwa OPM telah menjadikan rakyat sebagai alat propaganda, bukan subjek perjuangan.
“Mereka menanam kebencian sejak usia dini, menyebar narasi yang membutakan nurani. Mereka tolak jalan damai, padahal itu satu-satunya jalan untuk membangun Papua. Ini bukan memperjuangkan hak, ini menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, ” tegasnya.
Narasi Lama, Luka Baru
Para pengamat menilai bahwa OPM terus memanfaatkan isu ketimpangan sosial dan politik untuk membenarkan kekerasan. Ironisnya, justru kekerasan itulah yang memperpanjang penderitaan rakyat Papua. Ketika sekolah dibakar, fasilitas kesehatan diserang, dan guru dibunuh, siapa yang benar-benar dirugikan?
Di tengah berbagai capaian pembangunan seperti peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur OPM tetap menutup mata dan terus mendorong konflik.
“Mereka tidak menawarkan solusi konkret. Yang ditawarkan hanya kemarahan, kekerasan, dan kebencian, ” ujar seorang pengamat lokal yang enggan disebut namanya.
Kesadaran Baru: Suara Rakyat Melawan Manipulasi
Pertanyaan “Apakah kita dibodohi OPM selama ini?” bukan sekadar gugatan, melainkan cermin dari kesadaran kolektif rakyat Papua yang mulai tumbuh. Masyarakat kini mulai menolak ajakan konflik, dan memilih mendukung perdamaian serta pembangunan bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kami ingin hidup tenang, ingin anak-anak sekolah, ingin berobat tanpa takut. Kami ingin damai, ” kata seorang warga di Tolikara.
Gelombang kesadaran ini menjadi tantangan baru bagi OPM: bukan dari senjata aparat, melainkan dari hati rakyat Papua yang tak lagi bisa dibohongi oleh topeng perjuangan. (*/Red)