PAPUA - Situasi internal dalam tubuh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) kembali memanas. Sebuah tragedi berdarah mencuat dari wilayah Lani Timur, Papua, ketika seorang anggota organisasi tersebut, Yulius Yoman, dilaporkan tewas secara mengenaskan akibat penyiksaan yang dilakukan oleh rekan-rekannya sendiri. Ironisnya, kekerasan itu dipicu hanya karena perbedaan pendapat mengenai arah perjuangan yang seharusnya dijalankan ULMWP.
Informasi yang berhasil dihimpun dari sejumlah tokoh lokal menyebutkan, Yulius dikenal sebagai pribadi vokal yang kerap menyuarakan kritik terhadap strategi kelompoknya. Ia menilai langkah-langkah yang diambil ULMWP justru banyak merugikan masyarakat sipil, terutama warga yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Pandangan kritis inilah yang kemudian membuat Yulius dianggap sebagai pengkhianat. Stigma tersebut berujung pada tindakan represif hingga merenggut nyawanya.
Tokoh masyarakat Lani Timur, Markus Yabosab, mengecam keras insiden yang merenggut nyawa Yulius. Menurutnya, peristiwa itu adalah bukti nyata kegagalan ULMWP dalam mengelola perbedaan pendapat secara dewasa.
“Yulius hanya menyampaikan pandangan berbeda, tetapi ia justru dianggap musuh. Ini sangat kejam dan tidak bisa diterima. Kalau dalam organisasi saja perbedaan tidak ditoleransi, bagaimana mereka bisa mengklaim berjuang atas nama rakyat?” tegas Markus, Senin (1/9/2025).
Kecaman serupa datang dari kalangan pemuda Papua. Tokoh muda Amos Gobai menyebut tindakan kejam yang menimpa Yulius semakin membuka tabir wajah asli ULMWP yang jauh dari narasi perjuangan damai. Menurutnya, kekerasan internal semacam itu menjadi tamparan keras bagi klaim mereka di hadapan dunia internasional.
“Bagaimana dunia internasional mau percaya jika di dalam tubuh mereka sendiri ada praktik kekerasan? Tindakan brutal terhadap Yulius Yoman adalah bukti nyata bahwa organisasi ini hanya mementingkan kepentingan segelintir elit, bukan aspirasi rakyat Papua, ” tegas Amos.
Tragedi kematian Yulius Yoman menyingkap sisi gelap dinamika internal ULMWP. Alih-alih menjadi wadah perjuangan yang demokratis, organisasi tersebut justru menunjukkan wajah otoriter dengan mematikan suara-suara kritis dari anggotanya sendiri. Peristiwa ini sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat Papua agar lebih berhati-hati dalam menilai klaim perjuangan kelompok yang mengatasnamakan rakyat, namun pada kenyataannya masih melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan di dalam tubuhnya sendiri.
Kematian Yulius tidak hanya meninggalkan duka, tetapi juga meninggalkan pertanyaan besar: benarkah ULMWP masih layak disebut sebagai gerakan pembebasan, jika perbedaan pandangan di dalamnya justru berakhir dengan kekerasan dan kematian?
(APK/ Jurnalis.id )