JAKARTA - Sempat tertidur pulas, rencana besar untuk menyederhanakan mata uang rupiah kini kembali bergelora. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, secara resmi menggariskan langkah strategis ini dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.
Dalam PMK yang baru saja diterbitkan ini, Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan sebuah tonggak penting: penyiapan kerangka regulasi untuk redenominasi rupiah. Langkah konkretnya adalah penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) yang dijadwalkan dimulai tahun depan, dengan target penyelesaian pada 2027. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan penyederhanaan nominal mata uang yang telah lama diperbincangkan.
"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027, " demikian kutipan langsung dari PMK 70/2025, Jumat (7/11/2025). Instruksi ini jelas, menunjuk Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan sebagai penanggung jawab utama dalam penyusunan RUU tersebut, dengan tenggat waktu penuntasan kerangka regulasi pada 2026.
Apa sebenarnya redenominasi itu? Mengacu pada Indonesia Treasury Review Volume 2 Nomor 4 Tahun 2017, redenominasi didefinisikan sebagai tindakan penyederhanaan penulisan nominal mata uang. Intinya, skala baru digunakan tanpa mengurangi nilai riil uang tersebut terhadap harga barang atau jasa. Jadi, Rp 1.000 bisa menjadi Rp 1, namun nilainya tetap sama. Ini adalah konsep yang sederhana namun berpotensi membawa dampak besar.
Rencana redenominasi ini sebenarnya bukanlah barang baru di meja Bank Indonesia. Sejak tahun 2010, gagasan ini telah bergulir. Bahkan, pada masanya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo pernah mengusulkan RUU serupa ke DPR, yang kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2013. Usulan saat itu adalah penghilangan tiga angka nol, sebuah langkah yang sangat jelas untuk membuat rupiah terasa lebih 'ringan'.
Manfaat dari penyederhanaan ini, sebagaimana terungkap dalam Indonesia Treasury Review 2017, cukup signifikan. Pertama, transaksi dan pembukuan akuntansi akan jauh lebih praktis. Bayangkan bisnis berskala besar yang seringkali bergulat dengan digit triliunan; sistem IT perbankan dan software akuntansi pun bisa mengalami kendala teknis dengan angka yang terlalu banyak. Redenominasi akan memangkas kerumitan ini.
Kedua, berkurangnya jumlah digit pada nominal uang berpotensi menekan angka kesalahan penulisan atau penginputan dalam setiap transaksi. Ini adalah hal kecil yang bisa berdampak besar pada akurasi data keuangan. Ketiga, bagi pengelola kebijakan moneter, penggunaan digit yang lebih sedikit akan menyederhanakan pengelolaan inflasi nasional karena rentang harga barang konsumsi menjadi lebih kecil.
Terakhir, dan tidak kalah penting, redenominasi diperkirakan akan mengurangi biaya cetak uang. Dengan variasi nominal yang lebih sedikit dan potensi penggunaan uang koin yang lebih tahan lama, efisiensi anggaran negara dapat tercapai. "Redenominasi Rupiah dapat memberikan manfaat yang besar jika dilakukan dengan sistematis, terencana dan terukur. Hal ini menjadi penting dalam era zona perdagangan terbuka dan volatilitas US Dollar yang mempengaruhi nilai Rupiah dalam perdagangan internasional, " demikian kutipan dari Indonesia Treasury Review 2017.
Para pakar pun turut angkat bicara. Ekonom senior Indonesia, Raden Pardede, misalnya, pernah menjelaskan bahwa pemangkasan tiga digit pada nominal rupiah, seperti mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1, dapat memberikan efek psikologis positif bagi pelaku pasar keuangan. Ini bisa menciptakan persepsi bahwa nilai rupiah tidak terlalu jauh berbeda dengan mata uang negara maju.
Namun, Raden Pardede mengingatkan, redenominasi bukanlah sihir yang serta-merta memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Penguatan nilai tukar, tegasnya, sangat bergantung pada fundamental ekonomi seperti kinerja neraca pembayaran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan arus modal asing. "Jadi keuntungan hanya semata kalau kita menjadi Rp 15 ya kita persoalan persepsi, psikologi saja, no more than that, enggak ada lebih dari situ, " tegasnya dalam program Central Banking CNBC Indonesia pada 2023 lalu.
Ia juga menyoroti mengapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang, yang memiliki mata uang dengan banyak digit, belum terburu-buru melakukan redenominasi. Bagi mereka, penguatan nilai tukar melalui fundamental ekonomi dianggap jauh lebih prioritas. "Sebagai perbandingan, Jepang sekarang 140 yen per 1 dolar atau Korea Selatan 1.300-1 400 won terhadap dolar AS. Mereka belum memutuskan redenominasi, jadi ini keputusan masing-masing negara, " ungkapnya.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa redenominasi kerap dilakukan oleh negara-negara yang menghadapi hiperinflasi atau konflik. Raden Pardede mengamati pola ini pada sekitar 40 negara, termasuk Zimbabwe, Turki, dan Brazil. Oleh karena itu, ketika pemerintah dan BI merencanakan redenominasi di tengah ekonomi yang stabil, manfaat utamanya lebih kepada kemudahan administrasi keuangan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pun pernah menyampaikan pandangannya pada 2022. Menurutnya, redenominasi dari sisi ekonomi memiliki banyak manfaat, terutama terkait efisiensi. "Dengan nol tiga (dikurangi) efisiensi ekonomi akan meningkat. Berapa efek dari digit dari teknologi, penggunaan teknologi perbankan dan pembayaran sangat efektif, " ujarnya.
Ia menambahkan, dengan banyaknya angka nol pada transaksi saat ini, penyelesaian transaksi bisa menjadi lambat. "Tanpa nol tiga, penyelesaian transaksi akan lebih cepat, " paparnya, menggarisbawahi potensi peningkatan kecepatan dan efisiensi dalam sistem pembayaran di Indonesia. (PERS)











































