JAKARTA - Era digital membuka lembaran baru bagi birokrasi pemerintahan Indonesia. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Rini Widyantini, memaparkan bagaimana kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini bukan sekadar konsep futuristik, melainkan alat konkret untuk mentransformasi cara kerja pemerintah. Potensi AI sangat luas, mulai dari mengotomatisasi tugas-tugas rutin yang memakan waktu, mendukung pengambilan keputusan yang lebih akurat berbasis data, hingga menjadi benteng pertahanan dalam mendeteksi dan mencegah potensi penyelewengan.
Menteri Rini mengakui, membangun iklim digital yang mapan di lingkungan birokrasi bukanlah perkara mudah. Namun, kehadiran AI justru membuka pintu lebar bagi terwujudnya visi birokrasi yang adaptif dan modern. "Semua ini perlu didukung dengan pengembangan talenta digital dan literasi AI, agar ASN mampu menjadi pengguna AI yang kritis, etis, dan inovatif, " ujar Rini dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/09/2025).
Perjalanan panjang transformasi digital pemerintah sejatinya telah dimulai jauh sebelumnya. Dimulai dari Inpres No. 3/2003 tentang e-Government, dilanjutkan dengan penyempurnaan melalui Perpres No. 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), hingga kini terus bergulir dengan Perpres No. 82/2023 tentang Percepatan Transformasi Digital.
Namun, di tengah kemajuan pesat teknologi, Rini tidak menampik adanya sejumlah tantangan yang membayangi. Ia memaparkan, mulai dari keterbatasan infrastruktur digital yang masih perlu digenjot, kesenjangan kompetensi di antara Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga isu krusial terkait risiko keamanan data.
Untuk menjawab disrupsi teknologi ini, Rini menegaskan bahwa strategi pemerintah haruslah terarah. Pendekatan utama adalah memastikan setiap layanan publik benar-benar berfokus pada pengguna, mengedepankan prinsip human-centric, inklusif, dan proaktif. Ini berarti pelayanan harus dirancang sedekat mungkin dengan kebutuhan dan pengalaman masyarakat.
Strategi kedua yang ditekankan adalah pembangunan regulasi dan tata kelola yang bersifat adaptif. Fleksibilitas ini krusial agar adopsi teknologi baru dan inovasi dapat berjalan lebih cepat dan efektif. Lebih lanjut, Rini menekankan pentingnya memperkuat kolaborasi multipihak. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, media, dan industri menjadi kunci sukses dalam mewujudkan ekosistem digital yang kuat.
Strategi keempat adalah pengelolaan risiko yang lebih baik. Pemerintah berupaya melakukan identifikasi dan mitigasi risiko secara cermat pada setiap layanan dan perubahan yang diimplementasikan. Hal ini demi meminimalkan potensi hambatan dan menjaga keberlangsungan transformasi.
Terakhir, Rini menyoroti perlunya melakukan reskilling dan upskilling bagi ASN. Tujuannya agar para abdi negara ini siap dengan future skills yang dibutuhkan di era digital yang terus berkembang. "Dengan strategi inilah kita dapat mewujudkan birokrasi yang benar-benar tangguh dan siap menghadapi era digital, " tuturnya penuh keyakinan.
Menteri Rini juga mengingatkan, kolaborasi antara dunia akademis, pemerintah, dan industri sangatlah vital. Ia menyadari, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri dalam mewujudkan tata kelola digital yang menyeluruh. Universitas, sebagai garda terdepan pencetak agen perubahan, diharapkan mampu melahirkan inovasi, ide, dan solusi yang relevan untuk mendukung transformasi digital.
Bagi Rini, kecanggihan teknologi hanyalah sebuah alat. Intinya terletak pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengoperasikan dan memanfaatkan teknologi tersebut demi kemaslahatan masyarakat luas. "Masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi, tetapi juga oleh birokrasi yang mampu bertransformasi dengan ASN tangguh, kolaboratif, dan berintegritas yang diperkuat oleh riset dan dukungan akademisi, " pungkasnya. (PERS)