Sukabumi, 24 September 2025 — Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai kemerdekaan Palestina, dinilai oleh anak kampung bau lisung AA Ruslan Sutisna yang akrab disapa ruslan raya Mata Sosial, sebagai titik balik dialektika psikologi dunia. Melalui perspektif “Mata Sosial”, Ruslan menafsirkan pidato tersebut bukan semata pernyataan diplomatik, melainkan artikulasi etis yang mengguncang struktur batin peradaban global.
“Presiden Prabowo tidak hanya berbicara atas nama Indonesia, tetapi atas nama kesadaran kolektif umat manusia yang selama ini terbelenggu oleh narasi dominan kekuasaan. Ia menginterupsi logika geopolitik lama dengan keberanian moral yang langka, ” ujar Ruslan.
Menurut Ruslan, pidato tersebut mengandung tiga lapisan dialektika: pertama, afirmasi konstitusional Indonesia terhadap anti-kolonialisme; kedua, reposisi psikologi internasional dari netralitas pasif menuju keberpihakan aktif; dan ketiga, pembukaan ruang etis baru dalam diplomasi global yang mengedepankan martabat manusia sebagai poros utama.
“Dalam psikologi politik dunia, pidato ini adalah semacam ‘intervensi naratif’—di mana seorang kepala negara dari Global South menggeser pusat gravitasi wacana dari kepentingan strategis menuju nilai-nilai universal. Ini bukan hanya keberanian, tapi juga kecerdasan historis, ” tambahnya.
Ruslan juga menyoroti bagaimana pidato tersebut dapat menjadi bahan refleksi bagi elite dan masyarakat sipil di Indonesia. Ia mengajak para akademisi, pendidik, dan pemikir kebudayaan untuk menjadikan momen ini sebagai titik tolak pembaruan paradigma: bahwa politik luar negeri bukan sekadar urusan negara, melainkan cermin dari kedalaman jiwa bangsa.
“Ketika seorang presiden berbicara tentang kemerdekaan Palestina dengan nada yang tegas namun beradab, ia sedang mengajarkan kepada dunia bahwa kekuatan sejati terletak pada keberanian untuk berpihak kepada yang lemah. Ini adalah pelajaran psikologis yang harus masuk ke ruang-ruang pendidikan, kebudayaan, dan spiritualitas kita, ” tegas Ruslan.
Melalui “Mata Sosial”, Ruslan menutup analisisnya dengan menyatakan bahwa dunia sedang memasuki fase baru: fase di mana diplomasi tidak lagi hanya soal negosiasi kepentingan, tetapi tentang keberanian untuk menyuarakan nilai. Dan dalam fase ini, Indonesia melalui Presiden Prabowo telah mengambil posisi sebagai katalis etis.